Sosok
Teungku Muhammad Ali Irsyad ataupun yang lebih dikenal dengan Abu Teupin Raya belaiu lahir pada tahun 1921 M. Tentu saja kondisi pada
saat itu Aceh berperang dengan Belanda dimana masyarakat Aceh dalam situasi
peperangan antara putra-putra Aceh dengan serdadu-serdadu belanda untuk
mewujudkan perjuangan membela kemerdekaan.
Bermacam
upaya Belanda untuk meluaskan agresi mereka terhadap Aceh terhambat total
selama 20 tahun. Selama itu kesultanan Aceh terus bertahan di ibu kota Keumala,
dimata Belanda Ibukota tersebut merupakan pusat perjuangan Aceh dilihat secara
menyeluruh. Tidak hanya karena letaknya strategis melainkan terutama karena
Ibukota Keumala dengan selancar mungkin terus melaksanakan peranannya sebagai
pusat koordinasi perjuangan Aceh, termasuk di bidang politik dan ekonomi.
Tidak
mengherankan bila belanda mengutuskan untuk menyerang Keumala secara
habis-habisan. Setelah dipertahankan sepuas mungkin, akhirnya pihak pejuang
terpaksa memutuskan melepas kota tersebut. Dan memindahkan pusat kerajaan
Keuribee. Dari Ribee ke kampung Padang Gaham (Padang Tiji). Selanjutnya ke
Samalanga. Seperti telah diketahui, benteng Batee Iliek yang terletak di bukit
luar Samalanga, yang telah tiga kali dicoba direbut oleh Van derhaijend dan
pasukannya masih tetap dikuasai oleh para pejuang Aceh.
Dalam
memenuhi tekat mereka untuk mematahkan perlawanan Aceh. Belanda mengangkat
Jenderal Van Heutstz sebagai Gubernur yang berkedudukan di Kota Raja. Van
Heutstz menetapkan sasaran utama adalah memerangi Sultan Muhammad Daud Syah dan
Panglima Polem. Van Heutstz berhasil memaksa Sultan memindahkan
markasnya dari Samalanga ke Peudada dan berikutnya ke Peusangan, lalu ke tanah
Gayo dan akhirnya Sultan kembali lagi ke Pidie. Belanda juga tidak mampu
mematahkan perlawanan Sultan di Hulu Beuracan.
Akan
tetapi Sultan dan Panglima Polem akhirnya menyerahkan diri karena pihak Belanda
menggunakan politik kotor untuk menangkap Sultan dan Panglima Polem. Belanda
mengira dengan menyerahnya Sultan dan Panglima Polem akan mengendorkan
perjuangan rakyat Aceh, tetapi rakyat Aceh semakin menghebat terus
perjuangannya.
Ini
terlihat di Pidie sendiri setelah Sultan dan Panglima Polem menyerah serta kaum
bangsawan lainnya menyerah, babak perjuangan dilanjutkan oleh kaum ulama. Ini
tercatat ulama Pidie yang melanjutkan perjuangan melawan Belanda antara lain:
Teungku Cot Diplieng, Teungku di Tanoh Meurah, Teungku Lam Gut dan Habib Teupin
Wan.
Sesudah
Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem Menyerah Belanda mengira
perlawanan rakyat Aceh akan kendur. Namun perkiraan Belanda salah, perlawanan
mereka dilanjutkan oleh para ulama (mujahidin). Sebetulnya kaum Aceh
sendiri sudah memegang peranan pokok dalam menentang agresi belanda sejak tahun
1873.
Pergantian
perjuangan yang komandai oleh para ulama yang berbasis di ayah, membuat
Belanda menyuruh menutup seluruh dayah. Maka hilang pula lembaga pendidikan di
Aceh pada saat itu, yang ada hanya lembaga pendidikan orang Belanda.
Sesudah
dayah di tutup dan pendidikan lumpuh pada saat itu orang Aceh memikirkan cara
untuk mengembalikan sarana pendidikan. Maka mengingat tersebut para petinggi
Aceh pada saat itu, mengirim surat lepada pemimpin perang gerilya. Dalam surat
itu ditekankan supaya disamping terus melanjutkan pemerangan, agar mereka juga
berpikir tentang pembangunan kembali aktivitas pendidikan yang telah lama
hancur akibat peperangan.
Menyambut
surat tersebut para ulama pejuang bermusyawarah dan menghasilkan keputusan
sebagai berikut: Pertama, Sejumlah ulama dan pemimpin lainnya meneruskan
perjuangan gerilya untuk menghadapi penjajah belanda. Kedua, Sebagian ulama lainnya diperbolehkan melapor kepada penguasa
belanda dengan maksud membangun kembali lembaga-lembaga pendidikan sebagai
langkah yang mendasar dalam perjuangan polotik dalam rangka mencapai
kemerdekaan kembali.
Berdasarkan
keputusan tersebut sebagian ulama meninggalkan perang gerilya dan berkiprah
kembali dalam dunia pendidikan. Dan di Aceh juga pada saat itu penjajah belanda
sudah mendirikan lembaga-lembaga pendidikannya yang tujuannya untuk
menetralisir pengaruh pendidikan sekolah-sekolah agama Islam. Karena yang
mendirikan sekolah tersebut penjajah Belanda yang bukan orang Islam, maka
pendidikannya bersifat sekuler yang jauh dari pelajaran agama, bahkan Van
Dealen menyebutkan sekolah yang mereka dirikan sifatnya adalah “bebas dari
ajaran Al-Qur’an”.
Sumber: cinta-zayyan.blogspot.co.id
Sumber: cinta-zayyan.blogspot.co.id
0 Response to " "
Post a Comment