Wakaf (II) : Perspektif Wakaf Dalam Lintas Mazhab
Wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal. Pengertian dengan
kepemilikan asal “menahan kepemilikan asal” adalah menahan barang yang
dimanfaatkan itu agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk di jual, dihibahkan,
digadaikan, disewakan, dipinjamkan dan sejenisnya.sedangkan cara pemanfaatanya
adalah dengan menggunakan sesuai kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan. F(iqih Lima Mazhab, h. 635.) Saat harta sudah ditahan lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.[1]
Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah hukum, mereka
mendefinisikan wakaf dengandefinisi yang beragam sesuai dengan perbedaan
madzhab yang dianut. Berbagai pandangan mengenai wakaf menurut para madzhab
sebagai berikut:
Madzhab Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu
benda yang menurut hukum, tetap milik wakif dalam rangka mempergunakan
manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi
ini maka kepemilikan harta tidak lepas dari si wakif bahkan wakif berhak untuk
menarik kembali dan ia boleh menjualnya. Jika wakif wafat maka harta wakaf
menjadi harta warisan untuk ahli warisnya dari yang timbul dari wakaf hanyalah
“menyumbangkan manfaat” karena itu madzhab hanafi mendefinisikan wakaf adalah tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak
milik dengan menyedekahkan kepada suatu kebajikan (sosial) baik sekarang maupun
yang akan datang.
Madzhab Maliki
Madzhab maliki berpendapat
bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta wakaf yang di wakifkan oleh wakif. Namun
wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang melepaskan kepemilikanya
atas harta tersebut kepada yang lain dan
wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunkan oleh
Mustahiq(penerima wakaf), walaupun yang dimiliknya itu berbentuk upah, atau
menjadikan hasilnya untuk digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan
dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan
pemilik. Dengan kata lain pemilik harta menahan benda itu dengan pengunaan
seacara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu penberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap
menjadi milik wakif. Perwakafan iti beralaku untuk untuk masa tertentu, dan
karenanya tidak boleh di syaratkan sebagai wakaf kekal selamanya.
Madzhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Madzhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkaan darikepemilikan wakif, setelah
sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap
harta yangdiwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya pada
yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat harta yang
diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisinya.[2]
Wakif menyalurkan manfaat
harta yang diwakfkannya kepada Maukuf Alaih(orang yang diberi wakaf) sebagai
sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya
tersebut. Apabila wakif melarangnya maka qodli berhak memaksanya agar
memberikannya kepada maukuf alaih. Karena itu madzhab syafi’i mendefinisikan
wakaf adalah Tidak melakukan sesuatu tindakan atau benda yang berstatus milik
Allah Ta’ala, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan Sosial.
0 Response to "Wakaf (II) : Perspektif Wakaf Dalam Lintas Mazhab"
Post a Comment