Wakaf (I) : Pengertian Wakaf
Salah satu bentuk bentuk ibadah dalam
Islam berupa wakaf. Para ulama telah mendefinisikan tentang Wakaf. Sebagian menyebutkan
bahwa wakaf adalah mendayagunakan harta
untuk diambil manfaatnya dengan mempertahankan dzatnya benda tersebut dan
memutus hak wakif untuk mendayagunakan harta tersebut.[1] Menurut Muhammad Khatib Syarbaini
memberikan pengertian wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
berserta kekal zatnya dan dipergunakan pada bukan untuk tujuan maksiat.[2]
Jumhur ulama Syafi’iyah mengemukakan
definisi tentang wakaf sebagai berikut:
a.
Menahan harta yang dapat dimanfaatkan
dengan tanpa menghilangkan zatnya, baik dijaga oleh siwakif atau orang lain,
dan dipergunakan bagi tempat yang dibolehkan oleh syara’”.[3]
- Syeh Ibrahim Bajuri mengutarakan pemikirannya bahwa, “wakaf adalah:
حبس
مال معين قابل للنقل يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه وقطع التصرف فيه على ان يصرف
في جهة خير تقربا الى الله تعالى (ابرهيم البجورى الجزء الثاني ٤۲)
Artinya: Menahan harta tertentu yang
dapat dipindahkan dan memungkinkan dapat diambil manfaatnya, sedangkan keadaan
barangnya masih tetap terus, dan dalam arti memutuskan pentasarrufan, bahwa
harta tersebut akan ditasarrufkan melalui jalan yang baik karena mendekatkan
diri kepada Allah”.[4]
Berdasarkan definisi ini, terlihat
bahwa ulama Syafi’iyah mensyaratkan bahwa harta wakaf itu harus memenuhi tiga
unsur, yaitu benda yang diwakafkan mendatangkan manfaat, modalnya harus tetap
ada serta penggunaannya harus jelas atau tidak digunakan terhadap hal-hal yang
dilarang oleh agama. Dari definisi yang dikemukakan ini, jelas bahwa ulama
Syafi’iyah sangat menekankan masalah manfaat dari benda wakaf itu. Dari sisi
lain, ditegaskan pula bahwa eksistensi (‘ain) benda wakaf tersebut harus
tetap terjaga. Menurut Imam al-Syafi’i, harta yang diwakafkan terlepas dari si
wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya.
Oleh Karena itu tidak boleh wakaf yang
ditentukan jangka waktunya seperti yang dibolehkan Imam Maliki. Maka
disyaratkan pula benda yang diwakafkan itu tahan lama, tidak cepat habisnya,
seperti makanan. Alasannya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
tentang tanah di Khaibar. Imam al-Syafi’i memahami tindakan Umar mensedeqahkan
hartanya dengan tidak menjual, mewariskan dan menghibahkan, juga sebagai hadis
karena Nabi melihat tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam.
Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai hadits taqriry, walaupun telah
didahului oleh hadits qauly.[5]
[2]Muhammad Khatib Syarbaini, Iqna’ Fi Hilli Alfadhi Abi Syujaa’, Juz
II, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 81. Baca juga Zakaria Ansari, Tuhfatul Labib,
(Jeddah:Sangqapurah, n.d), h. 172. Beliau mengutarakan dengan redaksi yang berbeda yaitu dengan
mempergunakan harta yang tertentu yang dapat diambil manfaatnya dengan tidak
menghilangkan zat barang tesebut.
[3]Syamsuddin Muhammad ibn Abi al-Abbas Ahmad ibn Hamzah ibn Syihabuddin
al-Ramli al-Manufi al-Anshari al-Syafi’i al-Shagir, Nihayatu al-Muhtaj ila
Syarh al-Minhaj fi al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i, Juz. II (Riyadh:
Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1938), h. 355.
[5]Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Mesir: Dar
al-Fikri, 1986), h. 153.
0 Response to "Wakaf (I) : Pengertian Wakaf"
Post a Comment