Fiqh Haji : Haji Asgar (VII)
Ibadah haji merupakan salah satu rukun
islam yang lima. Kewajiban menunaikan ibadah haji ini diperuntukan terhadap
mereka yang telah mampu dan mencukupi segala syaratnya. Salah satu fenomena yang
menarik menyangkut dengan ibadah haji dalam masyarakat, mereka para jamaah haji
menginginkan dan berharap dapat meraih haji akbar. Dalam perspektif mayoritas
masyarakat kita, haji akbar merupakan ibadah haji yang pelaksanaan wukuf di Arafah jatuh pada hari jum’at dan menurut
pemerintah Arab Saudi telah memutuskan hari Arafah tahun ini bertepatan dengan
hari jum’at.
Dalam hal ini Allah telah menyebutkan dalam
surat Al-maidah ayat tiga tentang haji akbar. Namun apabila kita menelusuri
lebih mendalam tentang haji akbar para ulama berbeda pendapat dalam memaknai
haji akbar tersebut. Syekh Ibnu kasir dalam tafsirnya beliau menyebutkan bahwa
“haji akbar” yang dimaksudkan dalam surat Al-Maidah adalah hari penyembelihan
hewan kurban (yakni tanggal 10 Dzulhijjah), hari yang paling mulia, paling
menonjol, dan yang paling banyak manusia berkumpul padanya diantara hari-hari
pelaksanaan haji(Tafsir Ibnu Kasir, 4: 144-145). Pendapat Ibnu Kasir didukung
oleh hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah bahwasanya beliau berkata: "Abu Bakar R. a telah
mengutusku bersama dengan mereka yang ditugaskan untuk menyampaikan kabar
pemutusan hubungan pada hari Nahr di Mina, yang isi
pernyataannya adalah bahwa setelah tahun ini orang-orang musyrik tidak
boleh berhaji dan berthawaf di Ka'bah dengan telanjang.
Berdasarkan uraian diatas yang dimaksud
dengan haji akbar adalah hari raya qurban (Yaumil Nahr).
Maka Saidin Abu Bakar menyampaikan
apa yang Rasulullah perintahkan padanya
pada tahun itu. Sehingga di tahun berikutnya yakni saat “hajjatul wada' (haji
perpisahan), dimana Rasulullah saw berhaji padanya, tidak ada satu orang
musyrikpun yang ikut melaksanakannya. Hadist ini disebutkan oleh Imam Bukhari
dalam “kitaabul jihaad”. Dinamakan dengan “haji akbar” untuk
membedakannya dengan haji Asghar, yaitu umrah.” (Syarh Sahih Muslim: An-Nawawi,
9:116). Syekh abu Abdillah Muhammad dalam karyanya “Al-Jami’ Lil Ahkam
Al-Quran Wa Al-Mubayyin Lima Tadhammanahu
Min As-Sunnah Wa Ayi Al-Furqan” atau yang popular dengan Tafsir
Al-Qurthubi, beliau menyebutkan ulama berbeda pendapat mengenai haji akbar,
sebgaian ulama ada yang mengatakan yaitu hari 'arafah (9 Dzul-Hijjah), ini
merupakan pendapatnya madzhab Abu Hanifah. Sedangkan pendapat Imam Asy-Syafi'i yaitu hari nahr (10
Dzul-Hijjah), yaitu menurut argumen Ibnu Abi Awfa dan didukung oleh madzhab
Maliki.
Disini tidak disebutkan dan dijelaskan
pendapat dari madzhab Hanabilah. Para ulama juga kontroversi pendapat tentang
pengertian haji asghar, Syekh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menyebutkan
para ulama berbeda pendapat tentang pengertian haji asghar. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa haji asghar adalah umrah. Sebagian ulama ada juga yang
berpendapat haji asghar adalah hari arafah (9 Dzulhijah) dan haji akbar adalah
Idul Adha’. Oleh Karena itu di hari Idul Adha merupakan penyempurna kegiatan
ibadah manasik haji yang belum dilakukan.” (Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari,
8:321).
0 Response to "Fiqh Haji : Haji Asgar (VII)"
Post a Comment