Hukum Asuransi Dalam Islam, Haramkah?
Dalam bisnis asuransi, kerelaan (al-Ridha) dapat
diterapkan pada setiap anggota (nasabah)asuransi agar mempunyai motivasi dari
awal untuk melakukan sejumlah dana (premi) yang disetorkan keperusahaan
asuransi, yang fungsikan sebagai dana sosial (tabarru’), dana sosial memang
betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota (nasabah) asuransi yang
lain jika mengalami bencana kerugian.
Dengan penggunaan metode tersebut diatas
tentunya akan melahirkan pendapat / pandangan yang berbeda satu sama lain dan
tentunya pendapat tersebut akan dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing ahli. Adapun hasil Ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi, dapat
digolongkan kepada beberapa macam, diantaraya :
Asuransi dengan Segala
Bentuknya Haram.
Para ahli hukum Islam yang berpandangan bahwa
asuransi dengan segala bentuknya adalah haram, kelompok ini antara lain Sayid
Sabiq yang diungkap dalam kitabnya Fiqh Al-Sunnah, beliau menggaris bawahi
bahwa :“Asuransi tidak dapat dimasukkan sebagai mudharabah yang shahih, tetapih
termasuk mudharabah yang rusak”. Perusahaan asuransi itu tidak dapat dikatakan
memberi sumbangan kepada pihak tertanggung (nasabah) dengan apa yang
diharuskannya, karena karakter asuransi menurut undang-undang adalah termasuk
akad pembayaran yang tidak menentu (untung-untunggan). [1]
Seandainya penyetoran premi nasabah kepada
perusahaan asuransi itu dipandang selaku pinjaman yang kelak akan dibayarkan
kembali berikut keuntungannya manakala dia hidup, maka ini berati pijaman yang
menarik keuntungan. Hal ini haram dan termasuk riba yang terlarang. Dalam
hubungan ini dimaksudkan apabila nasabah masih hidup dan membayar semua premi
yang diharuskan kepadanya .
Tetapi apabila nasabah meninggal dunia sebelum
melunasi seluruh premi, atau baru mambayar sekali, sedangkan sisa premi yang
belum dibayar masih dalam jumlah yang besar berdasarkan masa akhir kontrak yang
ditentukan jumlahnya dan apabila maskapai asuransi membayar dengan sempurna
(sesuai dengan kotraknya) kepada ahli atau orang yang telah diberikan wewenang
oleh nasabah sesudah matinya, maka dari pendapat manakah perusahaan asuransi
akan membayar sejumlah uang tesebut. bukankah ini merupakan petaruhan dan
spekulasi. Jika hal ini bukan spekulasi yang sebetulnya, maka bentuk mana lagi
spekulasi itu.
Syari’at Islam tidak memperkenankan memakan harta
manusia dengan jalan yang bathil, di mana kematian seseorang dijadikan sebagai
sumber mametik keuntungan ahli waris atau penggantinya, yang disepakati olehnya
bersama orang lain sebelum kematiannya, dan dengan serampangan dibayarkan oleh
penaggung setelah kematian orang yang menjadi nasabah kepada mereka (ahli
waris).
Dengan pandangan tersebut, Sayid Sabiq mengambil
kesimpulan bahwa dengan alasan apa pun asuransi tidak dapat diterapkan dalam
akad yang sebenarnya Syari’at Isalm. Selain Sayid Sabiq yang
berpandangan bahwa asuransi dengan seagala bentuknya adalah haram, ada juga
beberapa pendukung lain, yaitu : Abdullah al-qalgili, Muhammad yusuf al-Qardawi dan Muhammad Bakhit al-Muthi’,
dengan alasan :
Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi.
a.
Mengangandung unsur yang tidak kepastian (gharar).
b.
Mengandung unsur riba atau rente.
c.
Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang
polis apabila tidak bisa mealnjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau
dikurangi uang premi yang telah dibaayrkan.
d.
Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para
pemegang polis diputar dalam praktek riba (karna uang tersebut dikreditkan dan
dibungakan.
e.
Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli
atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carry).
f.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis,
yang berarti mendahului takdir Tuhan yang Maha Kuasa.[2]
[1] Hamzah Ya’cob, Kode Etik Dagang Menurut
Hukum Islam, (Bandung : CV. Dipenogoro, 1984), hal. 296.
[2]
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia,
Bina Ilmu : Surabaya, 1986, hal. 164-168.
0 Response to "Hukum Asuransi Dalam Islam, Haramkah?"
Post a Comment