Hak Ijbar Dalam Perspektif Islam
Perkawinan bukanlah semata-mata merupakan wahana bagi
kepentingan
dua orang mempelai, melainkan keluarga mereka juga
mempunyai peran
yang sangat
penting. Seorang perempuan menurut mereka, pada umumnya kurang memiliki
kecerdasan dalam hal memilih calon pasangan hidupnya.Untuk mengatasi hal ini,
unsur kerelaan perempuan atas calon suaminya sudah dianggap cukup sebagai bahan
pertimbangan bagi kepentingan perkawinannya. Adanya wali mujbir dalam hukum perkawinan
Islam adalah atas pertimbangan untuk kebaikan gadis yang di kawinkan sebab
sering terjadi seorang gadis tidak pandai memilih jodohnya yang tepat. Apabila
gadis dilepaskan untuk memilih jodohnya sendiri, dirasakan akan mendatangkan
kerugian pada gadis dikemudian hari, misalnya dari segi pemeliharaan jiwa
keagamaanya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Tidak semua wali nikah diberikan hak
ijbar karena kesempurnaan kasih sayang mereka berbeda-beda, sehingga hak ijbar
di khususkan terhadap wali yang paling sempurna kasih sayang yaitu ayah dan
kakek, Dalam hal ini Ibnu Qasim Al-ghazzi dalam Fathu Al- Qarib
mengatakan bahwa:
فالبكر يجوز للأب والجد إجبارها
على النكاح[1]
Artinya: Boleh
terhadap ayah dan kakek untuk memeksa gadis perawan untuk menikah.
Zainuddin
Al-Malibari didalam kitab Fathul mu’in menjelaskan sebagai berikut:
( فيزوجان ) أي الأب
والجد حيث لا عداوة ظاهرة ( بكرا أو ثيبا بلا وطء ) لمن زالت بكارتها بنحو إصبع (
بغير إذنها ) فلا يشترط الإذن منها بالغة كانت أو غير بالغة لكمال شفقته[2]
Artinya:”Maka boleh bagi bapak dan kakek sekalipun tidak ada
izin dari yang bersangkutan(tanpa unsur permusuhan atau ingin
mengkhianati)untuk mengawini seorang gadis perawan(bikir) atau tidak lagi
perawantetapi hilang perawannyabukan dengan sebab bersetubuh, seperti hilang
perawannya dengan memasukkan anak jari. Maka tidak disyaratkan untuk sah nikah
harus ada izin dari gadis itu, baik ia telah dewasa atau msih anak-anak karena
bapak dan kakek masih sempurna kasih sayang terhadapnya.
Berdasarkan pendapat dan penjalasan
para fuqaha’ syafi’iyah di atas, dapatlah kita mengetahui yang bahwa
pada dasarnya seorang bapak atau kakek boleh memaksa anak atau cucunya yang
masih perawan (bikir) untuk menikah. Karena pemaksaan bapak atau kakek untuk
mengawinkannya secara paksa tidak terlepas dari tinjauan kemaslahatan bagi diri
anak atau cucunya tersebut. Seorang bapak tidak mungkin menghendaki anaknya
terjerumus kedalam kegelapan dimasa yang akan dating, maka setiap pemaksaan
yang dilakukannya tentu saja sudah ia pikirkan jauh-jauhsebelumnya tentang
sebab dan akibat yang akan timbul nanti. Namun kadangkala apa yang dipikirkan
atau tergambar dalam benak hati seorang bapak, kadang tidaqk bisa diterima oleh
anaknya karena anaknya belum mengerti benar tentang cara menjalani kehidupan
masa depan, atau kadang-kadang oaring tua yang salah dalam memprediksikan terhadap
masa depan anaknya seakan-akan baik dengan sebab dikawinkannya secara paksa,
tetapi ternyata sebaliknya. Ini ada juga kita dapati etapi sangat jarang kalau
memang orang tua memaksa anaknya untuk kawin berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan didalam syara’, bukan berdasarkan keinginannya atau karenaq
materialismenya (kekayaan).
Namun
demikian, sekalipun pada dasarnya hukum perkawinan secara paksa sah menurut fiqh
syafi’iyah namun, tidak terlepas
ketentuan kawin paksa itu dari syarat-syaratnya. Sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Qasim Al-Ghazzi dalam kitabnya Fathu Al-Qarib berikut ini:
ان وجدت شروط
الإجبار بكون الزوجة غير موطوئة بقبل وان تزوج بكفئ بمهر مثلها من نقد البلاد[3]
Artinya: “Bapak dan kakek boleh memaksa anak dan
cucunya agar mau menikah, jika diperdapatkan segala syaratnya, seperti keadaan
gadis tersebutbelum pernah disetubuhi secara sah, dikawinkan dengan orang yang
serasi (sekufu) dan mahar (mas kawin) harus disesuaikan”.
Karena apabila seorang wali (bapak dan
kakaek) mengawinkan anak gadisnya secara
paksa tanpa memenuhi segala syarat maka perkawinannya itu tidak sah. Zainuddin
Al-Malibari didalam kitab Fathu Al-Mu’in menjelaskan sebagai berikut:
فان
زوجها المجبر اى الاب آو الجد لغير كفء لم يصح النكاح وكذا انن زوجها لغير موسر
بالمهر[4]
Artinya: ”jika wali mujbir (bapak dan kakek) mengawinkan anak
atau cucunya dengan yang tidak sekufu (serasi) atau dengan mahar (mas kawin)
yang sesuai dengannya (mahar misil) maka nikahnya itu dianggap tidak sah”.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka menurut perspektif fiqh
syafi’iyah hukum kawin paksa sah tetapi yang memaksa atau yang menjadi walinya
harus bapak atau kakek (wali mujbir), dan harus diperhatikan syaratnya yaitu
sekufu (serasi) serta harus sesuai mas kawinnya. Dan juga dengan ketentuan
yang dipaksa tersebut harus gadis yang perawan (bikir), atau tidak
ada perawan lagi tetapi hilang perawannya bukan dengan watak (disetubuhi)
yang sah. Oleh karena itu, wali mujbir yang mengawinkan perempuan
gadis dibawah perwaliannya tanpa izin gadis bersangkutan disyaratkan:
- Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan.
- Antara wali dan gadis tidak ada permusuhan.
- Antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
- Calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai.
- Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap
istri dengan baik, dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan
kesengsaraan istri.
Demikianlah syarat-syarat yang harus diperhatikan wali
mujbir apabila akan menggunakan hak ijbar sehingga prinsip sukarela tersebut tidak terlanggar. Apabila syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka nikahnya tidak sah. Namun
demikian, disunatkan terhadap wali mujbir (bapak atau kakek) untuk
memimtai keizinan terlebih dahulu pada gadis bikir yang ingin ia
nikahkan. Dalam hal ini Muhammad Al-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj
mengatakan:
( ويستحب ) ( استئذانها ) أي البكر البالغة
العاقلة ولو سكرانة تطييبا لقلبه[5]
Artinya:”Disunatkan
terhadap wali ungtuk minta izin dari gadis perawan yang telah dewasa sekalipun
dia dalam kondisi mabuk karena untuk menentramkan hatinya”.
Didalam
kitab “Al-Mahalli”, mengenai ketentuan terhadap wanita yang sudah pernah kawin
atau janda, Syekh Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan sebagai berikut:
( ويستحب الْإشهاد على رضا المرأة ) بالنكاح(
حيث يعتبر رضاها ) بأن تكون غير مجبرة[6]
Artinya:”Dan
disunatkan
untuk
mempersaksikan (menanyai) atas keridhaan seorang wanita (janda) untuk di
nikahkan, ketentuan tersebut kalau wanita itu tidak termasuk kalau wanitaitu
tidak termasuk dalam wanita yang sah di paksakan kawin (wanita bikir)”.
Berdasarkan penjelasan Syekh Jalaluddin diatas, tidak boleh di paksa wanita yang sudah janda (tsaiyibah), karena perempuan janda harus lebih dahulu dimintai keizinan darinya untuk dikawinkan. Sikap keterbukaan perempuan janda tersebut disebabkan karena pengalamannya dal hal perkawinan. Hal ini berbeda dengan perempuan gadis. Dia belum berpengalaman dalam masalah perkawinan dan sering kali dia merasakan kesulitan untuk mengemukakan pendapatnya secara terus terang. Dalam mu’amalah (transaksi ekonomi) perempuan dewasa berhak untuk bertindak sendiri. Akan tetapi, dalam hal yang berkaitan dengan urusan seksual (budhu’) tidak dapat disamakan dengan urusan muamalah tersebut. Sebab persoalan seksual lebih berdimensi sensitif dan emosional dari pada rasionalitas.Pertimbangan lain adalah sifat kedewasaan seseorang, yang membuat dia bisa bersikap terbuka dan mampu memandang persoalan secara cerdas
[1] Ibni Qasim Al-Ghazzi, Fathu
Al-Qarib ‘ala Matni Al-Ghayah wa At-Taqrib, (Semarang:Toha Putra, tt), hal.
109.
[3] Ibnu Qasim Al-Ghazzi, Fathu Al-Qarib…, hal.
109.
[4]
Zainuddin Al-Malibari, Fathu
Al-Mu’in…, hal. 309.
[5] Muhammad Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj ‘Ala Syarhi
Al-Minhaj, (Beirut: Dar Al-Kutub, 2003), hal. 229.
[6] Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Mahalli...,
hal. 221.
0 Response to "Hak Ijbar Dalam Perspektif Islam"
Post a Comment