Israk Mikraj (IV): Alasan Israk Mikraj Dengan Jasad dan Ruh
Israk Mikraj yang di kenal sebagai
sebuah prosesi “wisata religi” baginda Rasulullah tidak akan luar biasa kalau
hanya dengan ruh-nya saja apalagi jika terjadi hanya dalam mimpi. Implikasinya
tentu saja tidak akan terjadi pertentangan dari kalangan kaum kafir Quraisy
terhadap peristiwa tersebut jika hanya terjadi dalam mimpi. Hal ini juga dapat ditelaah
dengan merujuk kepada pandangan para Mufassir. Salah satunya menurut Imam
al-Sa’di termasuk yang setuju peristiwa isra’ dan mi’raj nabi saw dengan ruh
dan jasadnya bersama-sama, karena kalau tidak maka hal itu tidak akan menjadi
tanda-tanda Allah yang besar (âyah kubrâ) dan munqîbah ‘azhîmah.
(Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’di. 2003. Taisir al-Karim al-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Mannan. Dar ibn Hazm: Beirut, Lebanon, h. 428).
Demikian juga Imam al-Nasafi bahwa
isra’ itu terjadi satu tahun sebelum hijrah dan terjadi waktu beliau terjaga (wa
kâna fi al-yaqzhah), dan setelah menyebut hadits ‘A’isyah dan Mu’awiyyah,
beliau menyatakan bahwa pendapat yang awal merupakan pendapat jumhur karena
tidak ada nilai lebih bagi pemimpi (idz lâ fadhîlata li al-hâlim)
dan demikian juga tidak ada keutamaan bagi orang yang tidur (wa lâ maziyyata
li al-nâ’im).
Sementara itu dalam pandangan Imam
al-Baidhawi dalam kitab Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl juga
menguatkan pendapat-pendapat itu dengan adanya ketakjuban orang-orang Quraisy
yang mereka menganggap isra’ dan mi’raj sebagai peristiwa yang tidak mungkin
terjadi, mustahil (istahâlah). Kalau tidak luar biasa,
apalagi hanya sekedar mimpi maka tidak mungkin mereka menganggapnya sebagai
sesuatu yang mustahil. Masih dari sudut pandang kebahasaan (lughatan),
bahwa Allah SWT memakai kata ‘abdun dalam kalimat bi
’abdihi.
Dalam bahasa Arab kata ‘abdun merupakan
ungkapan yang menunjuk kepada seseorang
yang terdiri dari jasad dan ruh sekaligus. Karena jasad tanpa ruh adalah mayyitun.
Dan ruh tanpa jasad juga tidak dapat disebut ‘abdun dalam
pengertian yang sesungguhnya. Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam kitab
tafsir yang sangat masyhur yaitu Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm atau
yang lebih dikenal dengan Tafsîr Ibn Katsîr. Juga dapat ditelusuri
dalam Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân
fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân yang ditulis oleh Muhammad
al-Amin Al-Hararî.
Pandangan yang kuat dan dapat
dipegangi (al-mu’tamad) adalah yang menyatakan bahwa kejadian luar biasa
itu terjadi dengan jasad dan ruhnya sekaligus, dan itulah pengertian yang benar
dalam kalimat bi ‘abdihî. Namun al-Harari juga menambahkan bahwa
kalimat yang dipakai Allah SWT adalah bi ‘abdihî, bukan bi
nabiyyihî (nabi-Nya) atau bi habîbihî (kekasih-Nya).
Hal itu, kata al-Harari, dimaksudkan agar umat Nabi Muhammad s.a.w. tidak
tersesat sebagaimana tersesatnya umat nabi Isa al-Masih a.s. yang pada akhirnya
menganggap Isa sebagai tuhan (ilâh).
Sumber : Tafsir Atas Kemukjizatan
Isra’ Dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw Dalam Surat Al-Isra’, Supriyanto Pasir,
2013)
0 Response to "Israk Mikraj (IV): Alasan Israk Mikraj Dengan Jasad dan Ruh"
Post a Comment