Israk Mikraj (III):Israk Mikraj Dalam Perspektif Mufassir
Pada bulan Rajab Allah SWT telah
memerintahkan kepada nabi Muhammad Saw untuk melaksanakan sebuah tugas “wisata
rohani” yang bernama Israk Mikraj. Di samping itu salah satu tanda kebesaran
Allah SWT dan mukjizat yang diberikan kepada Rasululah SAW dimana baginda Khatamil
Ambiya telah melakukan “wisata” rohani yang disebut dengan Israk Mikraj (Perjalanan Baginda dari Masjidil Haram di Makkah ke
Masjidil Aqsa di Baitulmaqdis di Palestin serta dari Masjidil Aqsa ke Sidratil
Muntaha di langit ketujuh. Peristiwa tersebut dalamAl-quran diabadikan
dalamsurat Al-Isra: “Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1).
Telah
terjadi perselisihan pendapat tentang apakah Rasul israk Mikrajdengan roh,atau
jasad dan roh bahkan ada pendapat yang menyebutkan dengan mimpi. Sebagian ulama
yang berfaham rasionalis seperti Imam al-Zamakhsyari beliau berpendapat
bahwa Isra’ dan Mi’raj prosesnya terjadi dengan ruhnya saja. Pendapat beliau didasarkan
kepada pernyataan A’isyah r.a. bahwa beliau bersumpah demi Allah tidak
kehilangan jasad Rasulullah s.a.w. pada malam itu dan menurut beliau nabi
Muhammad SAW Mi’raj dengan ruhnya saja. Sedangkan menurut Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan, peristiwa isra’ dan mi’raj itu terjadi hanya dalam mimpi (fî al-manâm).
Adapun
mayoritas mufassir (jumhûr) menyatakan bahwa peristiwa agung itu terjadi di
alam sadar (fî al-yaqzhân) bukan dalam tidur (fî al-manâm) dan dengan ruh dan
jasad nabi Muhammad sekaligus juga. Para ulama telah menginterpretasi
(menafsirankan) terkait isra’ dan mi’raj dengan ijtihadnya masing-masing sesuai
dengan kapasitas yang dapat dipertanggungjawabkan. dalamditerangkan di atas
bahwa Allah SWT telah memulai firman-Nya dengan subhâna. Hal itu menjadi
sebuah indikasi bahwa apa yang akan dikatakannya kemungkinan akan mengagetkan
manus ia karena merupakan suatu peristiwa yang luar biasa.
Peristiwa
luar biasa itu adalah diperjalankannya nabi Muhammad s.a.w. hanya di sebagian
malam dengan jarak yang jauh kemudian naik menembus langit ke tujuh, Sidrah
al-Muntahâ dan hingga sampai ke al-Mustawâ. Lebih jauh ditelaah dalam penyebutan
kata laylan dengan bentuk nakîrah (bukan ma’rifah yang
biasanya ditandai dengan alif dan lam) adalah memiliki arti sebagai
penyedikitan masa perjalanan al-isra’ (taqlîl muddati al-isrâ’) sehingga dapat
ditafsirkan dengan kata min al-layl dimana huruf khafdh “min” di
sini berfungsi sebagai li al-tab’îdh. (Abdullah ibn Umar ibn muhammad
al-Syirazi al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil,
jilid 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 563. Lihat juga Muhammad
ibn Ali al-Syaukani. 2003. Fath al-Qadir: al-Jami’ Baina Fanai al-Riwayah
wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon,
jilid 1, h. 1032)
Prosesi
wisata rohani Rasulullah tidak akan luar biasa kalau hanya dengan ruh-nya saja
apalagi jika terjadi hanya dalam mimpi. Implikasinya tentu saja tidak akan
terjadi pertentangan dari kalangan kaum kafir Quraisy terhadap peristiwa
tersebut jika hanya terjadi dalam mimpi.
Hal
ini juga dapat ditelaah dengan merujuk kepada pandangan para Mufassir. Salah
satunya menurut Imam al-Sa’di termasuk yang setuju peristiwa isra’ dan mi’raj
nabi saw dengan ruh dan jasadnya bersama-sama, karena kalau tidak maka hal itu
tidak akan menjadi tanda-tanda Allah yang besar (âyah kubrâ) dan munqîbah ‘azhîmah.
(Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’di. 2003. Taisir al-Karim al-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Mannan. Dar ibn Hazm: Beirut, Lebanon, h. 428).
0 Response to "Israk Mikraj (III):Israk Mikraj Dalam Perspektif Mufassir"
Post a Comment