Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara (II)
Di Indonesia, dalam contoh paling sederhana saja, masih
ada beberapa orang yang salah mengutip nama ulama. Misalnya (Abu Zakariya) Imam
an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M), fuqaha sekaligus ahli hadis kenamaan
kelahiran Damaskus, yang namanya sama dengan Syaikh Nawawi (al-Bantani),
mahaguru ulama Nusantara (1230-1314 H/ 1813-1897 M). Bahkan, seorang
cendekiawan terkemuka di Indonesia sempat keliru menyebut “Arbain
An-Nawawiyyah” sebagai karya Syaikh Nawawi, padahal karya di bidang hadis ini
adalah buah pikiran Imam An-Nawawi. Perbedaannya hanyalah sebutan “Imam” dan
“Syekh”, tapi butuh kejelian untuk mengenalinya. Demikian pula tampaknya ada
kekeliruan mengenai karamah Imam Nawawi Ad-Dimasyqi yang dinisbatkan kepada
Syaikh Nawawi al-Bantani.
Di lain pihak, dalam tradisi kitab kuning yang kuat
mengakar dalam tradisi Islam Nusantara, ada nama yang cukup melegenda: Syaikh
Zainuddin al-Malibari (w. 987 H./1579 M). Beliau adalah ulama fiqh madzhab
Syafii kelahiran Malabar, India yang juga disebut sebagai Zainuddin Ats-Tsani,
karena kakeknya juga bernama Zainuddin. Zainuddin Ats-Tsani ini adalah penulis
Fathul Mu’in yang merupakan syarah atas karyanya sendiri, Qurratul ‘Ain bi
Muhimmatid Din. Isryadul Ibad ila Sabil Ar-Rasyad adalah karya lainnya.
Sedangkan kakeknya, Zainuddin bin Ali bin Ahmad
al-Malibari juga merupakan pakar fiqh Syafiiyah yang lahir di Malibar/ Malabar
pada tahun 872 H/1467 M dan wafat di Ponani (Fanan) pada 928 H./ 1521 M. Karya
sang kakek yang cukup populer di Indonesia adalah kitab tasawuf Hidayatul
Adzkiya Ila Thariqil Auliya’.
Zainuddin al-Malibari pertama ini juga dikenal dengan
nama Zainuddin al-Fanani, dinisbatkan pada nama tempat wafatnya. Kitab
Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’ ini adalah salah satu kitab tasawuf yang
paling populer di awal abad ke XX, dimana ulama sekaliber KH. Sholeh Darat
memberi syarah kitab ini dengan judul Minhaj al-Atqiya fi Syarh Hidayatul
Adzkiya Ila Thariqil Auliya’.
Bahkan, saya menduga, KH. Santoso Anom Besari, keturunan
Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo, adalah pengagum kitab Hidayatul Adzkiya
Ila Thariqil Auliya’ sehingga menamakan putranya dengan tabarrukan dengan nama
Zainuddin al-Malibari al-Fanani ini, hingga kelak putranya, KH> Zainuddin
Fanani, menjadi salah satu pendiri Pesantren Darussalam Gontor bersama
saudara-saudaranya.
Kembali ke bahasan awal. Selain salah sangka di atas, ada
banyak nama ulama Indonesia yang mirip. Di kurun awal, ada Syaikh Khatib
As-Sambasi (1217 H./ 1803 M-1875 M) ) dan Syaikh Khatib al-Minangkabawi. Syaikh
Khatib Sambas adalah ulama tarekat yang menggabungkan dua aliran besar:
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, di mana melalui ijtihad ruhaniahnya beliau
menggabungkannya menjadi Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang memiliki
jutaan pengamal di kawasan Asia Tenggara.
Sama dengan Syaikh Khatib Sambas yang juga banyak
menghabiskan waktu mengajar di Makkah hingga wafat di kota suci ini, Syaikh
Khatib yang kedua, al-Minangkabawi (1860-1916), adalah ulama fiqh dan menjadi
guru bagi para ulama Nusantara di awal abad ke-20. Dua muridnya, KH. Ahmad
Dahlan, KH> M. Hasyim Asyari, dan KH>. Abdul Halim Majalengka kelak
menjadi penggerak kemajuan pendidikan dan berorganisasi di tanah air melalui
masing-masing organisasi yang mereka dirikan (Muhammadiyah, NU, dan PUI).
Selepas era ini ada juga beberapa nama yang, mirip,
misalnya antara Buya Hamka dan ayahnya. Haji Karim Amrullah (1879-1945), adalah
penggerak pendidikan Islam di Sumatera Barat melalui Sumatera Thawalib, sekolah
Islam modern pertama di zaman pergerakan. Sedangkan anaknya, Haji Abdul Malik
Karim Amrullah alias Buya Hamka (1908-1981), adalah sastrawan, mufassir, ahli
fiqh, dan ulama Muhammadiyah yang berpengaruh.
Selain itu, di kalangan kaum muslim tradisionalis, ada
dua nama KH. Abdul Halim yang sama-sama berasal dari Majalengka. Nama pertama,
KH. Abdul Halim alias KH. Muhammad Syathori (Otong Satori) yang lahir pada 26
Juni 1887. Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 2008. Ajengan
Halim adalah pendiri Perserikatan Ulama Indonesia (PUI) maupun Persatuan Umat
Islam. Di dalam konteks kenegaraan, beliau aktif sebagai anggota di BPUPKI,
bahkan setelah kemerdekaan sempat menjadi Bupati Majalengka, dan aktif
menentang DI/TII sampai akhir hayatnya di tahun 1962.
Sedangkan KH. Abdul Halim berikutnya adalah KH. Abdul
Halim dari Nahdlatul Ulama. Beberapa blog dan website saya cek banyak yang
tertukar menempatkan fotonya. Foto Ajengan Halim PUI disebut sebagai foto Kiai
Halim NU, demikian pula sebaliknya. KH. Abdul Halim yang kedua ini juga
terkenal dengan sebutan Kiai Halim Leuwimunding (salah satu daerah Majalengka).
Pria kelahiran 1898 ini adalah salah satu kader KH. Abdul Wahab Chasbullah saat
belajar di Makkah, yang kemudian rela berjalan kaki dari Majalengka ke Surabaya
untuk bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang baru berdiri.
Santri Tebuireng angkatan pertama ini juga terlibat dalam
kepengurusan NU generasi awal. Putranya, KH. Asep Saifuddin Halim, yang pernah
menjabat sebagai Ketua PCNU Kota Surabaya, saat ini mengasuh Ponpes Amanatul
Ummah di Surabaya dan di Pacet Mojokerto dan sekaligus mengabadikan nama KH.
Abdul Halim yang wafat pada 1972 ini sebagai nama sekolah tinggi di Mojokerto.....(bersambung)
Oleh: Rijal Mumazziq Z
(Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)
0 Response to "Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara (II)"
Post a Comment