Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara (III)
Di antara
kebingungan lain yang dialami oleh beberapa penelusur sejarah adalah nama “Kiai
Dahlan”. Dalam penelusuran saya, ada beberapa nama Kiai Dahlan yang populer dan
sempat terjadi kerancuan. Nama pertama tentu saja KH. Ahmad Dahlan alias
Muhammad Darwis, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Cendekiawan Deliar Noer,
dalam salah satu karyanya, menyebut apabila Kiai Ahmad Dahlan ini juga ikut
memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia alias MIAI, pada tahun
1937. Padahal apabila ditelisik, Kiai Dahlan Muhammadiyah wafat pada tahun
1923, jauh sebelum berdirinya MIAI. Lantas siapa sebenarnya Kiai Dahlan pendiri
MIAI ini?
Nama lengkapnya KH. Ahmad Dahlan
bin KH. Muhammad Achyad, dari Kebondalem Surabaya. Beliau adalah aktivis
pergerakan yang membidani beberapa embiro NU, seperti Tashwirul Afkar, dan
kemudian terlibat penuh dalam pendirian organisasi NU, 1926, sebagai Wakil Rais
Akbar. Ulama kelahiran 30 Oktober 1885 ini juga menulis beberapa risalah yang
mengkonter perdebatan furuiyah antara kaum pembaru dan kaum tradisionalis yang
meruncing di era 1920-an tersebut. Sahabat saya, Dr. Wasid Mansyur,
menuliskan biografi Kiai Dahlan Kebondalem ini dengan judul “Kiai Ahmad Dahlan:
Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja” (Surabaya: Pustaka Idea, 2015).
Sebelum era Kiai Dahlan
Muhammadiyah dan Kiai Dahlan MIAi, ada juga era keemasan Kiai Dahlan Falak.
Siapa beliau ini? Nama lengkapnya KH. Dahlan bin Abdullah Attarmasi Assamarani.
Beliau pakar falak yang kemudian diambil menantu oleh KH. Saleh Darat. Penulis
Natijatul Miqat yang juga adik kandung Syaikh Mahfudz Attarmasi ini adalah
salah seorang ulama Nusantara yang diakui kepakarannya di bidang falak.
Dalam buku Materpiece Islam
Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1320-1945 karya Zainul Milal Bizawie
disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan dan sahabatnya, Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari
al-Baweyani, berangkat menuju beberapa wilayah Arab dan menuju ke Al Azhar
Kairo. Di Kairo keduanya berjumpa dengan dua ulama Nusantara: Syaikh Jamil
Djambek dan Syaikh Ahmad Thahir Jalaludin. Selama di Kairo keduanya
mengkhatamkan kitab induk ilmu falak karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri, Al
Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid yang ditulis awal
abad 19. Sepulang dari rihlah ilmiah ini, beliau mengembangkan kajian
keilmuannya di Semarang. Kiai Dahlan Falak ini lahir di Pacitan, 1862, dan
wafat di Semarang, 1911. Makamnya bersebelahan dengan mertuanya, KH. Saleh
Darat.
Sedangkan Kiai Dahlan selanjutnya
adalah KH. Dahlan Abdul Qahar, salah seorang ulama asal Kertosono Nganjuk yang
ikut membidani kelahiran NU. Karib KH. Abdul Wahab Chasbullah ini bersama
Syaikh Ghanaim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi, Ibnu
Suud, mengenai kebebasan menjalankan madzhab dan beberapa tuntutan lain melalui
wadah Komite Hijaz, beberapa saat sebelum NU berdiri.
Adapun Kiai Dahlan berikutnya
juga berasal dari NU. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhamamd Dahlan,
beliau tercatat sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal berdirinya
bersama KH. Abdullah Ubaid. Di kemudian hari, aktivis yang dianugerahi suara
merdu ini juga menjabat sebagai Ketua PBNU, lalu menjadi Menteri Agama
(menggantikan KH. Saifuddin Zuhri) di awal Orde Baru. Kiprah yang paling
menonjol adalah merintis Musaqabah Tilawatil Qur’an (MTQ), dan bersama KH.
Ibrahim Hosen, Prof. Mukti Ali, KH. Zaini Miftah, dan KH. Ali Masyhar merintis
berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an. Pengamal Dalail Khairat hingga akhir
hayatnya ini dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1977.
Kiai Dahlan yang paling terakhir
adalah KH. Dahlan Salim Zarkasyi atau yang masyhur dengan sebutan Kiai Dahlan
Qiraati. Beliau turut andil dalam pengembangan ilmu al-Qur'an di Indonesia
dengan metodenya, Qiraati. Hamilul Qur'an yang lahir pada 1928 ini dikenal
sebagai sosok yang mencintai anak-anak dan di sisi lain berusaha menanamkan kecintaan
al-Qur'an kepada mereka. Hingga akhirnya dengan metode Qiraati, beliau ikut
turut serta mengembangkan kajian keilmuan al-Qur'an dan membantu masyarakat
awam dalam belajar membaca al-Qur'an.
Kiai Dahlan mungkin tidak pernah
menyangka metode hasil karyanya akan bisa sepopuler seperti sekarang ini.
Bermula dari pengajian di sebuah teras rumah di Jl. MT. Haryono, Kampung
Kebonarum, Semarang, kini Qiraati telah dimanfaatkan dan dipelajari oleh
puluhan ribu masyarakat di berbagai pelosok nusantara. Bahkan, saat ini Qiraati
juga telah merambah hingga ke beberapa negeri jiran. Namun sayang, beliau tidak
sempat ikut menyaksikan kemanfaatan dQiraati yang dulu beliau rintis, sebab KH.
Dahlan Salim Zarkasyi telah wafat pada tanggal 20 Januari 2001 yang lalu.
***
Berdasarkan pemaparan di atas, dan mengingat pentingnya penelusuran data secara
komprehensif agar tidak terjadi silangsengkarut sejarah ulama kita, maka
penyusunan Thabaqat Ulama Nusantara saya kira menjadi langkah paling tepat. KH.
A. Musthofa Bisri pernah menyatakan apabila Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani,
salah seorang muhaddits keturunan Indonesia yang bermukim di Makkah, pernah
menyatakan cita-citanya menulis Thabaqat Ulama Indonesia. Tujuannya, kata Gus
Mus mengutip pendapat Syaikh Yasin, agar kiprah ulama Indonesia bisa mendunia.
Namun, sayangnya, hingga kini cita-cita Syaikh Yasin belum ada yang
melanjutkan.
Wallahu A’lam Bisshawab.
Oleh: Rijal Mumazziq Z
(Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)
0 Response to "Enam Nama Kiai Dahlan dan Pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara (III)"
Post a Comment