Fiqh Kuburan (VI): Syafaat Orang Meninggal, Benarkah?
Dalam khazanah
keilmuan Islam, istilah syafaat terkenal di kalangan ahli kalam (teolog).
Disiplin ilmu teologi mengartikan syafaat ialah sebuah pertolongan Nabi Muhamad
Saw. terhadap umatnya -pada hari kiamat- untuk membebaskan atau memberi
keringanan atas hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kapasitas rasio tidak
mampu memprediksi secara tepat dan benar dengan peristiwa yang belum terjadi,
apalagi yang berkaitan hal-hal metafisik. Itu harus disadarinya karena
keterbatasan dan kemampuan rasio manusia hanya pada sesuatu yang tampak mata.
Namun, atas jasa wahyu, manusia menjadi tahu akan planing (rencana) Allah pada
hari kiamat.
Seumpama
pemberian syafaat di hari itu Tanpa bantuan wahyu, kesulitan-kalau tidak dikatakan mustahil-manusia akan mengetahuinya. Diakui memang Nabi Muhamad yang
membawa kabar itu, tapi substansinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .,wa mâ
yanthiqu ’an al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ. Karenanya, kebodohan dan
keterbatasan akal, bukan alasan untuk menyangkal berita-berita yang dibawa Nabi.
Dari sini pula, ketika antara wahyu dan filsafat (alam pikiran) bertolak
belakang, tentu yang diutamakan ialah wahyu. Dalam ranah ini, meski akal tidak
mampu memberi informasi tentang syafaat, tapi karena Nabi Muhamad sebagai
utusan Tuhan, dengan perintah-Nya telah menyampaikan berita itu maka yang logis
justru menjadikan wahyu sebagai suatu keniscayaan. (Syekh
Islam Ibrahim bin Muhamad al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah
Surabaya, h.116.)
Berdasarkan penjelasan diatas,tentu Nabi SAW bisa menolong umatnya
sekalipun beliau setelah wafat, semua atas kehendak
Allah, mengingat Nabi SAW sudah bisa dipastikan mendapat Ridha Allah untuk
memberi syafa’at. Namun ada sebagaian orang yang mengemukakan
argumentasi bahwa tidak bisa lagi kita meminta syfaat kepada orang yang telah wafat dengan alasan
bahwa orang mati tidak bisa lagi memberi manfaat pada orang hidup didunia,
dalilnya hadist: ” Apabila telah meninggal seorang anak adam,,,,,,,,,(,H.R
Muslim.).
Seharusnya orang tersebut saat membedakan antara orang hidup dan orang
telah mati, bukankah orang hidup dan orang mati sama dalam pemahaman tidak bisa memberikan manfaat juga tidak bisa
mendatangkan mudharat kecuali mendapat izin-Nya. Sepengetahuan
al-faqir (penulis) belum ada ulama yang
berfaham sebagaimana yang di
utarakan di atas. Justru semua ulama sepakat bahwa orang hidup dan orang
mati sama dalam hal tidak bisa memberikan manfaat juga tidak bisa mendatangkan
mudharat. Dalam manhaj ‘iktikad Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahwa dzat seorang makhluk tidak mempunyai pengaruh (ta’tsir), mampu mewujudkan
sesuatu, menghilangkan, memberi manfaat dan memberi bahaya baik dzat
Rasulallah, nabi-nabi, orang-orang shaleh dan lain-lain. Tetapi semua itu hanya
Allah yang dapat memberi ta’sir (pengaruh).
Argumentasi ini
di perkuat oleh Ibnu Taimiyah dalam karyanya “Al-Kawakib Al Durriyah”,beliau
berkata:” Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yang
dianggap sebagian orang. Jelas shahih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa
telah diperintahkan kepada orang-orang yg punya hajat di masa Kholifah Utsman
untuk bertawasul kepada nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan bertawasul di
sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kepada Rosulullah dan hajat
mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"( kitabnya Al-Kawakib
Al Durriyah:II:6)
Penjelasan di atas di perkuat juga dengan firman Allah “Dan
janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka)
telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” – (QS Al- Baqarah (2): 154). Tidak
diragukan bahwa kehidupan para nabi AS dan orang-orang pilihan yang mewarisi
mereka lebih utuh dan lebih sempuma daripada kehidupan orang- orang yang mati
syahid, karena mereka memiliki tingkatan yang lebih tinggi diban-ding
orang-orang yang mati syahid. Hal ini di
sebutkan dalam firman Allah
SWT, “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh
Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” – QS An-Nisa’
(4): 69.).
Selanjutnya juga telah di sebutkan oleh Rasulullah SAW
pernah dengan sabda, :“Para nabi
hidup di kubur mereka, mereka shalat.” Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam
kitabnya, Al-Musnad (6:147), dari hadits Anas bin Malik RA. Pentahqiqnya
mengatakan, “Isnadnya shahih.” Juga mungkin mereka telah lupa bahwa Musa AS telah wafat
pada waktu itu dan seluruh umat Muhammad SAW berada dalam keberkahannya sampai
hari Kiamat. Penjelasan ini disebabkan telah mendapatkan keringanan dari shalat lima puluh
waktu menjadi shalat lima waktu dengan perantaraan Nabi Musa AS. Ini merupakan
manfaat terbesar dan faedah teragung
0 Response to "Fiqh Kuburan (VI): Syafaat Orang Meninggal, Benarkah?"
Post a Comment