Wahdatul Wujud (I):Sang Pelopor Wahdatul Wujud
Salah satu pembahasan dalam dunia
tasawuf yang masih menjadi kontoversi dikalangan ulama dan cendekiawan muslim
semenjak dulu sampai sekarang adalah mengenai pemahaman wahdatul wujud.
Interpretasi tentang wahdatul wujud telah menimbulkan konflik dan kesenjangan
berawal dari kesalahan fahaman mengenai esensi wahdatul wujud itu sendiri.
Problema wahdatul wujud tidak terlepas dari dunia tasawuf atau sufi. Terkadang
slogan sesat bahkan kufur yang selayaknya tidak perlu terjadi dialamat kepada
golongan tasawuf atau sufi yang bertitel arifbillah.
Hal ini ekses dari
pemahaman keliru tentang wahdatul wujud bahkan tidak sedikit yang
menyamaratakan ungkapan sesat kepada semua elemen ahli sufi dan tarekat. Namun
ada juga sebagian masyarakat yang dapat memahami dan menghayati faham wahdatul
wujud dengan benar sesuai petunjuk dan bimbingan dari ulama sufi dan para
arifbillah. Ada juga sebaliknya sebagian orang dengan ilmu dan wawasan yang
terbatas sehingga mereka menamakan diri firqah sufi, padahal ketasawufan dan
pemahaman tentang wahdatul wujud di pahami atau di lihat secara dari luar saja.
Secara global kaum pengkritisi wahdatul
wujud, sejatinya mereka kurang mendalami
terhadap esensi wahdatul wujud dalam kaca mata kaum sufi dan tasawuf. Mereka
hendaknya meminta pencerahan dan penjelasan dalam mencari kebenaran dan bukan
untuk mencari pembenaran. Dalam lintasan sejarah, Tidak sedikit pada mulanya
para pengkritik dan “pencela” golongan tasawuf dan sufi, begitu alergi dan
bencinya, namun apa yang terjadi, dikala mereka telah bergaul dan bersahabat
bahkan berguru, kebencian yang telah tumbuh dan mereka lakoni, tiba-tiba
berubah seratus delapan puluh derajat. Dalam hal ini ada sebuah sabda
rasulullah menyinggung tentang membenci dan mencinta yang berlebihan, “Cintailah
kekasihmu sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi seorang yang
engkau benci. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saa karena bisa
jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu” (HR.Imam Tirmidzi)
Setelah mereka bergaul dan berguru
sehingga terbuka cakrawala samudera yang sangat dalam dunia sufi dan tasawuf
itu. Akhirnya mereka mencintai ajaran sufi bahkan menjadi sosok dan tokoh ulama
sufi terkemuka dunia dikemudian hari. Sebut saja diantara mereka adalah Imam
Ahmad bin Hanbal, sebelum mengenal golongan sufi (tasawuf) melarang putranya
berinteraksi dengan mereka ahli sufi. Tetapi setelah beliau mengenal dan
mempelajari lebih dekat dengan Syekh Abu
Hamzah Al-Baghdadi r.a., seorang sufi, beliau berkata kepada anaknya: “Wahai
anakku. Hendaklah kamu duduk bersama-sama dengan kaum tersebut (sufi).
Sesungguhnya ilmu mereka, muraqabah mereka, ketakutan mereka kepada Allah
s.w.t., zuhud mereka dan semangat mereka, lebih banyak dari kita.” (Tanwir
Al-Qulub M/S: 405).
Hal yang sama dialami oleh pengarang kitab “Al-Hikam” Imam
Ibnu 'Atha'illah As-Sakandari ra yang merupakan salah seorang ulama Al-Azhar di
zaman beliau, yang pada awalnya menolak kaum sufi. Namun, setelah bertemu
dengan Syekh Abul Abas Al-Mursi r.a. (murid Imam Abul Hasan As As-Syadzali
r.a.), beliau akhirnya menjadi orang yang paling banyak berkhidmat dalam
menyebarkan ilmu kaum sufi yang benar. (Imam As-Sakandari, Kitab Lata'if
Al-Minan ).
Banyak di kalangan para ulama yang
mengalami hal demikian, yang pada awalnya mengingkari para sufi secara umum,
akhirnya mendukung kaum sufi, setelah menemukan kebenaran yang disampaikan oleh
kaum sufi tersebut. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memahami
istilah-istilah yang digunakan oleh para sufi, maka janganlah cepat latah dan
tergesa-gesa menyalahkan dan menghukum sesat suatu perkara. Karena hal ini bisa
membawa pada berburuk sangka. Menghadapi fenomena yang demikian, Imam An-Nawawi
telah mewarning (memperingatkan) kita dalam untaian perkataannya yang sering dipermasalahkan oleh sebagian pihak
terhadap para sufi: "Jika kamu mendengar ucapan-ucapan mereka (yang
samar maknanya), maka ta'wilkanlah dia dengan tujuh puluh ta'wilan (untuk baik
sangka kepada mereka)" (Kitab Syarh Al-Muhadzdzab, Imam Nawawi).
Hal yang senada dilontarkan oleh Salah
seorang faqih yang popular dengan nama Imam As-Subki, beliau berkata: "Ada dari kalangan fuqaha' yang
walaupun secara lahiriyah menjaga syariat, mengamalkan perintah dan
meninggalkan laranganNya, namun malangnya, mereka bersikap meremehkan fuqara'
(kaum sufi) dan ahli tasawwuf dengan menafikan kebaikan pada mereka. Mereka
mencela kaum sufi hanya karena mendengar perkara-perkara yang disebutkan
tentang kaum sufi, padahal kabar dari pendengaran berbeda di kalangan manusia.
Orang yang meremehkan kaum sufi sebenarnya tidak mengetahui tentang mereka.
Wajib bagi kita untuk menyerahkan (tafwidh) keadaan mereka kepada mereka
sendiri. Kita tidak boleh menyalahkan mereka semata-mata ungkapan-ungkapan yang
keluar dari mulut para sufi, yang secara lahiriyah menyalahi. Jika boleh
menta’wil perkataan mereka, maka lakukanlah. Ta’wilkan dengan ta’wilan yang
baik, terutama perkataan mereka yang diakui sebagai kepercayaan. Sesungguhnya,
saya (Imam As-Subki r.a.) tidak menjumpai seorang faqih pun yang mengingkari
kaum sufi dan mencela mereka, melainkan Allah SWT. membinasakannya…”. (Imam
Subki, Ma'id An-Ni'am)
0 Response to "Wahdatul Wujud (I):Sang Pelopor Wahdatul Wujud"
Post a Comment