Wahdatul Wujud (II): Kontroversial dan Esensi Wahdatusy Syuhud
Interpretasi tentang esensial wahdatul
wujud melahirkan pemahaman yang beragam baik yang sesuai dengan syariat atau
yang kontradiksi, tergantung dari “haisiah” (persfektif) mereka yang
menafsirkan sesuai dengan tingkat keilmuan masing-masing. Tidak sedikit pemikir
nonmuslim yang mencoba mengakaji dan menganalisa faham wahdatul wujud sebagai
khazanah keilmuan yang pernah heboh dalam literaur sejarah dengan berakhirnya
meninggalnya tokoh faham itu sendiri diakhir hayat dalam lintas waktu dan
tempat yang berbeda. Diantaranya Syekh Yusuf Al-Halaj di jazirah Arab, Syekh
Hamzah Al-Fanshuri dan para muridnya di negeri ‘’Serambi Mekkah” Aceh, Syekh
Siti Jenar di pulau Jawa dan lainnya.
Penulis tidak ingin mengkaji lebih lanjut
keranah terbunuh para ulama tersebut, siapa yang salah dan harus disalahkan,
mereka para ulama telah “berijtihad” sesuai dengan analisan dan kemampuannya.
Namun penulis mencoba untuk mengkaji sedikit dengan kefaqiran ilmu penulis
sendiri tentang kontroversialnya faham tersebut.
Sebagian Golongan yang memahami "Wahdatul-wujud"
dengan makna: Allah dan makhluk adalah satu (manunggal). yaitu, makhluk bersatu
dengan Allah. Mereka memahami Wahdatul-wujud sebagai makna hulul (Allah
bergabung dalam makhluk) dan ittihad (Allah dan makhluk adalah menyatu
dzat-Nya). Dengan konsep pemahaman semacam ini sehingga para penentang
menyerang pencetus faham ini seperti Al-Hallaj, Ibnu Araby dan para sufi
lainnya kedalam kelompok sesat menyesatkan bahkan kafir. Dengan asumsi penganut
pantheisme (wahdatul wujud) adalah ajaran yang menyimpang dari syariat.
Menelusuri
dalam seluruh pandangan Al-Hallaj dan para sufi lainnya, mereka tidak memaknai Wahdatul
Wujud dengan pemahaman kesatuan wujud antara hamba dengan sang Khaliq
sebagaimana yang dituduhkan. Interpretasi Wahdatul Wujud dengan makna
pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosofis atas manhaj
(konsep) Al-Hallaj, Ibnu Araby, Hamzah Fanshuri dan para sufi lainnya. Arifnya esensi
Wahdatul Wujud itu para sufi dimaknai dengan Wahdatusy Syuhud (Kesatuan
Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan Dzat-Nya
dengan dzat makhluk.
Ulasan
seperti diatas melahirkan dua natijah (konklusi) yang ziddain (bertolak
belakang), kesalahan dari satu sudut pandang dan benar dari perspektif lainnya.
Interpretasi mereka menolak wahdatul wujud merupakan sebuah kebenaran
dengan makna hulul dan ittihad, indikasinya hulul dan ittihad adalah kesesatan
yang nyata sebagai faham pantheisme. Tetapi kesalahan mereka para pengkritik
wahdatul wujud adalah dari sudut memvonis sesat golongan yang berpegang pada wahdatul-wujud.
Padahal kaum sufi dan ahli tasawwuf yang membicarakan tentang Wahdatul-wujud,
tidak memahaminya dengan konsep yang keliru dengan makna hulul dan ittihad
sebagai mana mereka pahami, namun mereka ahli sufi yang arifbillah
memandang dengan kaca mata wahdatul syuhud. Sebab para arifbillahpun menolak
atas pemahaman wahdatul wujud dengan konsep hulul dan ittihad.
Kelompok dengan berpegang pada ‘wahdatul-wujuhud”
dengan makna hulul dan ittihad, Mereka lebih suka disebut sebagai sekte ahli
hakikat, di Aceh lebih dikenal dengan “salik buta”, (saikul ‘ama).
Mereka mengadopsi dan ‘menjual’ penisbatan kelompoknya kepada sosok ulama yang
telah sampai kepada mahqamat Arifbillah dengan martabat wushulnya seperti di Aceh dengan tokohnya Syekh Hamzah
Fanshuri dengan faham wahdatul wujud hulul wa ittihad. Beliau yang kita ketahui
terbebas dari ilustrasi seperti itu. Diantara kekhasan mereka para salik buta,
tidak lagi menempuh jalur syariat, seperti melakukan sembahayang wajib hanya
cukup dengan niat semata, tanpa melakukan rukun dan syarat yang telah
ditetapkan oleh syarak, seperti berdiri, fatihah, rukuk, iktidal dan lainnya.
Mereka meninggalkan ilmu syariat baik fiqh, tasawuf dan tauhid. Mereka langsung
menebos ke saripatinya (hakikat) tanpa terlebih dulu menempuh jalan pra menuju
maqam hakikat mulai jalan syariat, tarekat,hakikat dan ma’rifah. Tentu saja
dengan proses tarbiyah dengan belajar ilmu agama dan beramal dengan petunjuk
yang telah digariskan para warisatul ambiya dalam hal ini ulama insya Allah
akan terarahkan pemahaman dan iktikad serta jauh dari jurang kesesatan.
Distulah letak kesalahan mereka.
0 Response to "Wahdatul Wujud (II): Kontroversial dan Esensi Wahdatusy Syuhud"
Post a Comment