Tafsir Ayat Ahkam (IV): Ayat Wudhu (An-Nisa: 43)
Tafsir Ayat
Wudhu:
Allah berfirman
dalam Surah an-Nisaa’: 43:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا
مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا (٤٣)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”(QS. An-Nisa:43).
Allah berfirman:
(يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) “Hai orang-orang yang beriman”, yaitu
memanggil orang-orang yang beriman saja, karena hanya merekalah yang diharapkan
bisa konsukwen melaksanakan hukum-hukum Allah, terutama pada hukum thaharah
(bersuci) dengan tiga kategorinya: Wudhu, mandi junub dan tayammum, seperti
berikut:
1.
Hukum-Hukum
Wudhu’
Firman
Allah: (إذا قمتم إلى الصلاة) “apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat”:
Kata imam
al-Qurthubi: Ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud firman Allah ini
kepada beberapa mazhab:
a.
Mazhab pertama:
Mengatakan lafadz ini berlaku umum pada setiap kali hendak mengerjakan shalat,
baik punya wudhu’ atau tidak punya wudhu’, maka baginya harus mengambil wudhu
setiap hendak mengerjakan shalat, dan adalah Ali ra melakukan hal itu sambil
membacakan ayat ini, riwayat ini disebutkan oleh Abu Mohammad ad-Darami dalam
musnadnya. Sedangkan Ibn Sirin mengatakan: Adalah semua khalifah mengambil
wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat.
b.
Mazhab kedua:
Hukum ayat ini hanya berlaku khusus kepada nabi SAW: Berkata Abdullah bin
Handzalah bin Abu ‘Amer al-Ghasil: Bahwasanya nabi SAW telah memerintahkan
berwudhu’ setiap kali hendak mengerjaka shalat maka nabi merasakan hal itu
sulit, lalu memerintahkan dengan bersiwak dan membebaskannya dari wudhu’
kecuali orang yang berhadats (tidak mempunyai wudhu’). Kata ‘Alqamah bin
al-Faghwaa dari bapaknya – dia adalah salah seorang sahabat, dan pernah menjadi
guide rasulullah SAW ketika pergi ke Tabuk: Ayat ini diturunkan sebagai
keringanan kepada rasulullah SAW, karena Beliau tidak mengerjakan suatu
pekerjaan kecuali harus selalu berwudhu, Beliau tidak mau berbicara dengan
siapapun, tidak mau membalas salam dan seterusnya, maka Allah menyampaikannya
dengan ayat ini bahwa wudhu’ itu hanya untuk mengerjakan shalat saja bukan
untuk semua pekerjaan.
c.
Mazhab ketiga:
Yang dimaksudkan dengan ayat mengambil wudhu untuk setiap shalat adalah untuk
mencari keutamaan, golongan ini menjadikan hal ini sebagai sunnah, dan adalah
banyak dari sahabat termasuk Ibn Umar mengambil wudhu setiap kali mereka hendak
mengerjakan shalat sebagai mencari keutamaan, dan rasulullah SAW mengerjakan
hal seperti itu sampai Beliau menjama’ antara shalat lima waktu pada hari
pembebasan kota Makkah dengan satu wudhu’, dimaksudkan memberitahukan kepada
umat nabi SAW.
d.
Ada pula mazhab
lain yang mengatakan: Bahwa fardu mengambil wudhu adalah memang untuk setiap
kali shalat (pada awalnya-pen) kemudian dihapuskan pada hari pembebasan kota
Makkah.
Kata
al-Qurthubi: pendapat ini salah oleh dua riwayat berikut:
1)
Dari Anas ra
mengatakan: Adalah rasulullah SAW mengambil wudhu’ setiap kali hendak
mengerjakan shalat, sedangkan umatnya tidak demikian.
2)
Hadits Suwaid
bin an-Nu’man: Bahwa nabi SAW pernah mengerjakan shalat Ashar di waktu Maghrib
dengan satu wudhu, waktu itu di perang khaibar, yaitu tahun ke-6, dan ada
mengatakan: Tahun ke-7, sedangkan pembebasan kota Makkah terjadi pada tahun
ke-8, dan ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam
Muwattha’nya, dan dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.
Maka
jelas dari dua hadits ini bahwa kewajiban wudhu untuk setiap kali shalat itu
tidak ada sebelum pembebasan kota Makkah. Sebuah hadits dikeluarkan Muslim:
Dari Buraidah bin al-Hashib bahwasanya rasulullah SAW mengambil wudhu setiap
kali hendak mengerjakan shalat, maka ketika hari pembebasan Makkah Beliau SAW
mengerjakan beberapa shalat dengan satu wudhu, dan menyapu kedua khof (sepatu panjang
atau kos kaki terbuat dari kulit), lalu Umar ra bertanya: Engkau telah berbuat
sesuatu hari ini yang tidak pernah engkau lakukan sebelumnya, maka nabi
bersabda: “Saya sengaja melakukannya hai Umar”. Kenapa Umar menanyakan dan
meminta penjelasan Beliau? Ada mengatakan bahwa: Umar menanyakannya karena nabi
mengerjakan sesuatu berbeda dari kebiasaan Beliau sejak shalatnya di Khaibar,
Wallahua’lam.
Hadits
lain, diriwayatkan oleh at-Tizmizi dari Anas bahwasanya nabi SAW selalu
berwudhu setiap kali mengerjakan shalat baik suci atau tidak suci, Hamid
berkata: Saya menanyakan kepada Anas: Dan kalian sendiri bagaimana
mengerjakannya? Anas menjawab: Kami mengerjakan satu wudhu saja. Telah
diriwayatkan pula dari nabi SAW bersabda: “Wudhu di atas wudhu itu cahaya”,
maka rasulullah SAW senantiasa memperbaharui wudhu setiap kali hendak
mengerjakan shalat. Dan adalah sesorang memberi salam ketika nabi sedang buang
hajat dan tidak membalasnya sampai selesai mengambil tayammum baru kemudian
nabi membalas salam dan bersabda: “Saya tidak biasa menyebut nama Allah kecuali
saya dalam keadaan suci.
e.
Pendapat lain
dari as-Suddi dan Zaid bin Aslam: Arti ayat (إذا قمتم إلى
الصلاة) “apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat”, yaitu dari
tidur.
Dan ayat
dalam ta’wil ini menunjukkan adanya penyederhanaan kalimat (taqdim dan
ta’khir), opsinya adalah: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun
hendak mengerjakan shalat dari tidur, atau habis buang air atau menyentuh
perempuan - sentuhan ringan -, maka basuhlah. Maka selesailah hukum hadats bagi
yang berhadats kecil.
Kemudian
menambahkan dari firman Allah: “dan jika kamu junub maka mandilah” dan ini
adalah hukum yang lain, kemudian Allah menyebutkan untuk kedua hukum sekaligus
berfirman: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih)”
f.
Pendapat Jumhur
Uluma:
Arti
ayat ; “apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat sedang kamu dalam keadaan
hadats, jadi tidak ada di dalam ayat ini taqdim dan ta’khir, tetapi ayat
mengatur hukum bila terdapat air sampai firman Allah: “maka mandilah” dan
termasuk di sini bersentuhan ringan dari arti firman Allah “jika kamu dalam
keadaan hadats”.
Kemudian
tokoh pendapat ini menyebut setelah membacakan firman Allah: “dan jika kamu
junub maka mandilah”, ini mengatur jika tidak terdapat air dari kedua jenis
hukum sekaligus, dan menyentuh perempuan di sini adalah bercinta (ML), dan
harus menyebutkan junub hal tidak terdapat air sebagaimana menyebutkan bila
terdapat air, Dan ini adalah tafsir imam Syafi’i dan sejawatnya, dan pendapat
ini sejalan dengan pendapat-pendapat sahabat, seperti: Sa’ad bin Abi Waqqash,
Ibn Umar, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain.
Al-Qurthubi
berkomentar: Kedua penafsiran di atas terbaik dalam memahami ayat,
wallahua’lam, dan arti apabila kamu bangun - apabila kamu hendak, sebagaimana
firman Allah: “Apabila kamu membaca al-Qur’an maka minta berlindunglah”, yaitu
apabila kamu hendak, karena wudhu dalam keadaan shalat itu tidak mungkin
Referensi
1.
Mohamed bin
Ahmed al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Darul Fikr.
2.
At-Tafsirul
Munir fil-Aqidati was-Syari’ati wal-Manhaji, Aisarut Tafasir li Kalamil ‘Aliyil
Kabir
3.
Asbabun Nuzul, al-Wahidi,
Halaman: 87-88
4. At-Tafsir wal-Mofassirun, adz-Dzahabi
(1/ 156);
5. Tafasir Ayat al-Ahkam wa Manahijuha,
al-Abid (1/ 26);
6.
Ayat
al-Ahkam fil-Mughni (Disertasi), al-Fadhil (1/ 10) dan sesudahnya.
7.
Hadits
diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab “Azan”, bab “Azan lil-Musafir”... No.
605.
8.
Tafsirut
Tabi’in, al-Khadhiri, (2/ 665)
9.
Tafsir
al-Khamsumiati Ayat fil-Qur’an, Moqatel bin Sulaiman, Halaman: (66 -68)
10.
Direkap
oleh Ibn an-Nadim di dalam Fahrasnya, Halaman: 57; dan ad-Daudi, Thabaqatul
Mufassirin, (2/ 362).
11.
Al-Burhan,
az-Zarkasyi, (2/ 3); Ahkamul Qur’an, al-Baihaqi, (1/ 20); dan telah dinukil
oleh al-Jasshash dalam Ahkamul Qur’an, (3/ 351).
12. Ahkamul
Qur’an, Mukaddimah Ilkiya al-Harrasi, (1/ 2),
0 Response to "Tafsir Ayat Ahkam (IV): Ayat Wudhu (An-Nisa: 43)"
Post a Comment