Tafsir Ayat Ahkam (II): Karakteristik dan Sejarahnya
A. Karakteristik Ayat Ahkam
Ayat-ayat hukum dapat dibedakan dalam dua kategori:
1. Ayat yang bersifat qath’iyah.
Ayat-ayat ini tidak dapat berubah hukumnya dalam berbagai keadaan,
situasi, kondisi, zaman, tempat dan waktu. Artinya tidak boleh ada intervensi
akal dan fikiran manusia dalam merumuskan hukum-hukumnya, akan tetapi
hukum-hukumnya berlaku sejak ayat-ayat itu diturunkan sampai berakhir kehidupan
di atas permukaan bumi ini, dan tidak akan pernah mengalami perubahan. Para
mujtahid tidak diberi wewenang untuk melakukan ijtihad dalam bidang ini, baik
dengan melakukan penafsiran, pensyarahan maupun membuat penakwilan yang berbeda
dengan tekstual ayat. Penunjuknnya terhadap hukum tertentu dengan sangat
detail, jelas dan tidak memiliki penafsiran ganda, seperti halnya ayat-ayat
tentang ibadah, mawaris, hudud dan qishash.
2. Ayat yang bersifat zhanniyah.
Ayat-ayat ini dapat berubah hukumnya sesuai dengan perubahan keadaan,
‘uruf, zaman dan tempat. Artinya para mujtahidnya diperkenankan mengintervensi
dalam memformulasi hukum-hukum yang dikandungnya sesuai dengan perkembangan
zaman, perubahan tempat, waktu dan keadaan. Penunjukannya terhadap hukum tidak
mendetail, akan tetapi memuat norma dasar yang bersifat global, sehingga
memiliki penafsiran ganda.
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an menggunakan bahasa hukum yang luas, luwes,
lugas dan akurat. Luas, karena al-Quran hampir atau bahkan selalu menampilkan
kosa kata pilihan yang bersifat substansial universal (jawami’ al-kalim).
Luwes, karena ayat-ayat hukum dalam al-Quran memiliki banyak makna (musytarak)
di samping kaya dengan sinonim (muradif)
B. Memahami Ayat Ahkam yang Ada Pada Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kemaslahatan umat manusia, baik secara
individual maupun sosial, maka ayat-ayat hukum merupakan bagian dari
petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al-Qur’an. Untuk mengambil petunjuk dari
ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman yang benar terhadap makna
dan pesan yang dikandungnya. Namun memahaminya tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan sebab Al-Qur’an selain berbahasa Arab juga memakai gaya bahasa
dan sastra Arab yang tinggi yang benar-benar indah dan merdu (badi’ dan
baligh), yang tidak mungkin dapat dipahami dengan baik kecuali dengan
penguasaan bahasa Arab dan tata bahasanya, ilmu balaghah dan sastra Arab
Jahiliyah.
Berikut
merupakan salah satu strategi agar dapat memahami ayat hukum yang ada pada
al-Qur’an:
1. Tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu.
Al-Qur’an mengajak manusia untuk tidak mengikuti secara buta kepada
kepercayaan dan norma-norma yang diajarkan masyarakat. Akan tetapi
memikirkannya dengan terlebih dahulu menghilangkan segala atribut, prasangka,
hal-hal yang tabu dan yang mengikat pikiran mereka. Hal ini untuk menghindari
agar pemahaman ayat-ayat hukum tidak dipaksakan supaya sesuai dengan asumsi
yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi untuk mendukung pendapat
yang ia yakini, bukan mempelajari ayat tersebut untuk meluruskan pemahamannya.
2. Merasa bahwa setiap ayat ditujukan kepada kita.
lmam al-Ghazali dalam al-Ihya’ berkata: “Merasa bahwa kitalah yang
dimaksud oleh setiap khithab Al-Quran. Jika Al-Quran memerintah maka kitalah
yang diperintah, jika Al-Quran melarang maka kitalah yang dilarang, jika
Al-Quran memberi janji maka kitalah yang diberi janji, jika Al-Quran mengancam
maka kitalah yang diancam, jika Al-Quran bercerita maka kitalah yang harus mengambil
ibrahnya, bahkan jika khithab Al-Quran berbentuk jama’ maka kitalah yang paling
dimaksud (QS. Al-An’am : 19). Bagaikan seorang budak yang membaca surat dari
majikannya, sehingga dengan demikian maka bacaan Al-Quran akan menambah
keimanan, iltizam (komitmen), pengamalan dan menjadi rijal Quraniy (generasi
Quran) yang memberikan atsar dan manfaat pada dirinya dan orang lain.”
3. Tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Al-Quran.
Setiap orang
harus tunduk dan patuh kepada hukum Al-Quran, baik yang rasional, maupun yang
irrasional. Ini adalah sifat dan prilaku Nabi dan para shahabat, sementara
mengkritisi hukum Tuhan yang qath’i dengan alasan tidak logis adalah sifat dan
prilaku iblis. Selain itu, membedakan hukum-hukum Tuhan antara yang layak
diamalkan dengan yang tidak layak merupakan sifat dan prilaku Yahudi.
4. Tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan tempat.
Al-Quran adalah
kitab suci yang bersifat universal untuk semua masa. Ayat-ayat hukumnya berlaku
untuk semua manusia, baik bagi orang yang ada pada waktu diturunkan maupun yang
tidak. Dengan demikian harus kita fahami bahwa ayat-ayat hukum Al-Quran sesuai
dengan masa kini terdapat relevansi yang sangat kuat. Sekiranya dapat disikapi
dengan cerdas kita akan mendapat jawaban hukum yang sempurna dari ayat-ayat
hukum yang ada dalam al-Quran tentang segala masalah yang kita hadapi.
C. Sejarah Ayat Ahkam
1. Mahaguru dan Sekolah-Sekolah Tafsir Ayat Ahkam Pertama
Patut dicatat bahwa sahabat-sahabat yang paling menonjol pada periode
ke-dua setelah nabi SAW dibidang tafsir ayat-ayat hukum, masing-masing adalah:
a. Abdullah bin Mas’ud ra.
b. Abdullah bin Umar ra.
c. Abdullah bin Abbas ra.
Ketiga tokoh besar di atas telah menancapkan pengaruh-pengaruhnya pada
murid-murid mereka, maka bermunculanlah jebolan pertama sekolah-sekolah tafsir
al-Qur’an, khususnya ayat-ayat hukum, seperti:
1) Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Kufah diprakarsai oleh
murid-murid Ibn Mas’ud
2) Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Madinah dimotori oleh
murid-murid Ibn Umar
3) Sekolah Tafsir Ayat-Ayat Hukum Makkah oleh murid-murid
Ibn Abbas
Dari sekolah-sekolah inilah yang kemudian menginsfirasi lahirnya
sekolah-sekolah tafsir modern, khususnya ayat-ayat hukum, dan telah
mengeluarkan alumni-alumni terbaiknya yang ahli bidang hukum Islam hingga
sekarang.
1. Karya Ulama Tentang Tafsir Ayat Ahkam
a. Mazhab Hanafiah:
Tokoh Penulisnya, adalah: Imam Abu Bakar ar-Razi, dikenal dengan:
Al-Jasshash (w. 370 H), karyanya yang terkenal yaitu “Ahkamul Qur’an”, yang
tidak pernah luput dari mengekspresikan sanjungan terhadap Mazhab Imam Abu
Hanifah, an-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H), walaupun hanya dengan sentuhan tidak
langsung, kemudian menerapkan prinsif dan dasar-dasar yang dibangun atas mazhab
Hanafiah.
b. Mazhab Syafi’iyah
Tokoh Penulisnya, adalah: Abu al-Hassan at-Thabari, yang dikenal dengan
Ilkiya al-Harrasi (w. 504 H), karyanya adalah: “Ahkamul Qur’an”, yang
mengomentari pada mukaddimahnya, bahwa tujuan penulisannya “menjelaskan apa
yang telah menjadi perhatian Imam Syafi’i, dari mencarikan dalil-dalil pada
persoalan-persoalan yang rumit... Imam Abu Abdullah, Mohammad bin Idris
as-Syafi’i (w. 204 H); karyanya adalah “Kitab Ahkamul Qur’an”
c. Mazhab Maliki:
Tokoh Penulisnya yang terkenal, masing-masing adalah: Ibn al-Arabi dan
al-Qurthubi, keduanya dari Andalusia. Ibn al-Arabi dengan karyanya “Ahkamul
Qur’an”, sedangkan al-Qurthubi dengan karya monumentalnya “al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an. Akan tetapi tafsir Ibn al-Arabi lebih banyak mengambil perhatian
pengikut Malikia dengan menjadikannya kitab yang paling penting di Mazhabnya.
Karena penulisnya merupakan pentolan mazhab Maliki raqam wahid, yang tidak
kalah fanatiknya terhadap mazhabnya dari rival-rifalnya, al-Jasshash dari
mazhab Hanafi dan al-harrasi dari pengikut mazhab Syafi’i, membuat Ibn al-Arabi
merajut tafsir ayat-ayat ahkamnya berdasarkan prinsif-prinsif mazhabnya yaitu
Maliki
d. Mazhab
Hanabilah:
Tokoh Penulisnya, masing-masing adalah: Abderrazzaq ar-Ras’ani, kitabnya
“Ahkamul Qur’an”, dan Ibn Adil al-Hanbali, dengan kitabnya “Ahkamul Qur’an”.
Referensi :
1. Baidan, Narhruddin, Metode Penafsiran
Al-Qur An. Pustaka Pelajar, 2002.
2. Al-Zarqani Muhammad ‘Abd Al-Azhim
(Selanjutnya Ditulis Al-Zarqânî), Manahil Al-'Irfan Fî 'Ulum Al-Qur`An,
(Beirut: Dâr Ihya' Al-Turats Al-Arabiy, 1995).
3. Khalid bin Utsman al-Tsabt (selanjutnya
ditulis al-Tsabt), Qowa'id al-Tafsir Jam'an wa Dirasasatan, Arab Saudi: Dar ibn
'Affan, 1997).
4.
Mohamed bin
Ahmed al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Darul Fikr.
5.
At-Tafsirul
Munir fil-Aqidati was-Syari’ati wal-Manhaji, Aisarut Tafasir li Kalamil ‘Aliyil
Kabir
6.
Asbabun Nuzul,
al-Wahidi, Halaman: 87-88
7. At-Tafsir wal-Mofassirun, adz-Dzahabi
(1/ 156);
8. Tafasir Ayat al-Ahkam wa Manahijuha,
al-Abid (1/ 26);
9.
Ayat
al-Ahkam fil-Mughni, al-Fadhil (1/ 10) dan sesudahnya.
0 Response to "Tafsir Ayat Ahkam (II): Karakteristik dan Sejarahnya"
Post a Comment