Rabu Akhir Safar: Dalam Perspektif Ayat dan Hadist (II)
Keeksistensian ibadah
ini pula jangan sampai dijadikan media perselisihan sehingga timbul
pertentangan di kalangan internal masyarakat muslim, justru amalan ini kita
dijadikan sebagai momentum meningkatkn kualitas ibadah kepada Allah swt serta
sebuah sarana agar dapat berlindung kepada-Nya dari segala macam bencana dan
mara bahaya yang akan menimpanya.
Allah swt berfirman: وَ اسْتَعِيْنُوْا بِا الصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ
Artinya; “Carilah
pertolongan (Allah) dengan sabar dan shalat” (QS. Al-Baqarah: 45).
Ayat diatas diperkuat
dengan sunnah Rasulullah saw:
عن حذيفة رضي الله عنه
قال: كان رسول الله
صلّى الله عليه وسلّم إذا حزبه أمر فزع إلى
الصّلاة (رواه أحمد و أبو داود)
Dari Hudzaifah ra
berkata: “Apabila Rasulullah saw menemui suatu kesulitan, maka beliau segera
menunaikan shalat” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Apalagi semua shalat –baik shalat
wajib maupun shalat sunnah– merupakan sebuah ibadah yang ditekankan untuk
dilakukan oleh setiap muslim.
Rasulullah saw telah
bersabda: الصّلاة خير موضوع “Shalat adalah
sebaik-baik amal yang ditetapkan (Allah untuk hamba-Nya)” Lazimnya masyarakat
kita setelah pelaksanaan ibadah ini dilakukan jamuan makan sebagai sedekah. Inipun
juga dianjurkan oleh Nabi saw dalam sabda beliau: بَكِرٌوْا
بِا الصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلاَءَ لاَ يَتَخَطَّاهَا (رواه الطبراني)
“Segeralah bershadaqah, sebab bala’ bencana
tidak akan melangkahinya” (HR. Thabrani).
Rabu Sebagai Hari Nahas
Sekulumit kita mengkaji hari rabu terakhir safar ini dalam pandangan agama.
Dalam al-quran disebutkan dalam surat al-Qamar ayat 19 : “Sesungguhnya kami
telah menghembuskan kepada mereka angin sangat kencang pada hari nahas yang
terus menerus”. (Q.S. Al-Qamar : 19).
Mengenai
hari yang dimaksudkan dalam ayat diatas, berdasar dalil yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik r.a, ia berkata : “Rasulullah saw telah ditanya tentang hari
rabu. Lalu Beliau saw menjawab : “Hari Rabu adalah hari nahas yang terus
menerus”. Mereka bertanya : “Kenapa bisa demikian, ya Rasulullah ?”. Rasulullah
menjawab : “Karena pada hari itu Allah telah menenggelamkan Fir’aun dan
kaumnya, memusnahkan kaum Aad dan Tsamud, yaitu kaum Nabi Shaleh”.
Sebagaian
ahli makrifat menyebutkan bahwa bahwa Allah telah membinasakan tujuh kaum yang
kafir pada hari rabu dengan tujuh macam azab, mereka itu adalah : pertama
: Auj bin Unuq dibinasakan dengan burung Hudhud. Kedua : Qarun
dibinasakan dengan dibenamkan ke dalam tanah. Ketiga : Fir’aun dan
pasukannya dibinasakan dengan ditenggelamkan ke dalam sungai Nil. Keempat
: Namrud dibinasakan dengan nyamuk. Kelima : Kaum Luth
dibinasakan dengan batu. Keenam : Syidad bin Aad dibinasakan
dengan suara jeritan Jibril as. Ketujuh : Kaum Aad dibinaskan dengan
angin yang kencang. Sebagaimana telah disebutkan diawal tulisan disebut bahwa
Allah Ta’ala menurunkan bala’ pada tiap-tiap tahun sebanayak 320.000 (tiga
ratus dua puluh ribu) bala’. Jelaslah dari pemhasan diatas bahwa hari rabu
adalah hari nahas, terutama pada hari rabu di akhir bulan shafar, sebagian
ulama’ mengakui turunnya bala’ ke dunia ini besar-besaran pada akhir bulan
shafar.
Kelompok
ulama salafatussaleh lebih detail
mengatakan bahwa setelah tanggal satu Muharam (tahun baru Islam), seluruh
catatan dan amaliah manusia baik maupun buruk diangkat kelangit dan
diperhitungkan dengan seksama. Amal yang baik dinaikkan kelangit dan ada
kalanya diturunkan di bumi, sedangkan amal-amal jelek/buruk serta dosa-dosa
manusia diturunkan kembali ke bumi, dibuang ke laut (ada yang mengatakan
menjadi buaya-buaya dan binatang-binatang laut lainnya).
Tetapi
lautan yang begitu luas tidak menampung banyaknya dosa-dosa tersebut, yang
akhirnya meluber kedaratan menjadi berbagai penyakit, musibah, bala’ dan
bencana. Hal ini terjadi secara serempak dan total pada hari rabu di akhir
bulan shafar.
Allah
itu Maha Adil, sebagai perimbangannya ada yang dinamakan rahmat, barakah, ada
yang dinamakan hidayah, semua ini diturunkan pada waktu-waktu tertentu pula.
Seperti pada bulan Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Dzulhijjah dan Muharram. Jelaslah
bahwa sang Khalik telah mengatur hokum keseimbangan yang sangat sempurna antara
yang baik dan buruk dengan perbandingan 1 : 10, seperti yang dijelaskan di
hadist bahwa kebaikkan yang satu di balas dengan sepuluh sedangkan kejahatan 1
di balas satu.
Tentulah
Perbandingan ini sebenarnya telah menunjukkan sifat Rahman dan Rahimnya Allah
Ta’ala kepada kita sebagai makhluk-NYa. Tetapi manusianya sendirilah yang tak
mau berfikir dan bersyukur dalam perjalanan hidupnya. Sehingga walaupun telah
didespensasi seperti itu, tetap saja manusia banyak kesalahan dan dosa yang
dilakukan. Lebih jelasnya dalam setahun Allah Ta’ala menurunkan kebaikkan dan
keburukan di bagi dalam bulan-bulan tertentu yang mempunyai kelebihan sendiri-sendiri,
antara lain : Bulan Rajab kelebihannya ada pahala puasa sunnah dan istighfar
rajab. Kejadian pada waktu itu adalah Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw.
Sementara bulan
Sya’ban terkenal dengan Nisyfu Sya’ban. Bulan Ramadhan dengan puasa wajibnya
dan terkenal dengan Malam Lalilatul Qadarnya. Bulan Dzulhijjah terkenal dengan
haji & puasa sembilan hari pertamanya, terutama Hari Arafah dan Hari
Tarwiyahnya. Bulan Muharram terkenal dengan Doa Akhir & Awal Tahunnya serta
hari Asyuranya. Kemudian sebagai perimbangannya dalam setahun itu diturunkan
sekaligus keburukan (bala’, bencana, penyakit dan wabah) di akhir bulan safar.
Referensi : Kitab As Sab’iyyaatu fil Mawaa’idhil
Barriyyat karya Al Imam Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman
Al-Hamdaani.Jawahir al-Khamsi, Khazinatul Abrar dan berbagai sumber
0 Response to "Rabu Akhir Safar: Dalam Perspektif Ayat dan Hadist (II)"
Post a Comment