Tarekat Naqsyabandiah : Sejarah Perkembangan Tarekat (I)
Tawajuh merupakan salah satu media untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengupas masalah tawajuh sangat erat
hubungannya dengan suluk. Suluk merupakan latihan peribadatan yang merupakan
bagian dari Tarekat Naqsyabandiyah, yang kegiatan tersebut hanya ada pada
tarekat ini. Sejarah dan perkembangan amalan suluk tidak terlepas dengan
keberadaan dan perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, sejak timbulnya sampai
menyebar ke seluruh tanah air termasuk berkembang di daerah Aceh.[1]
Salah
satu tarekat yang sangat berkembang didunia saat ini adalah Tarekat
Naqsyabandiyah. Sebelumn penulis terlebih dahulu menguraikan sedikit tentang
pengertian tarekat itu sendiri. Secara etimologi, kata tarekat berasal dari
bahasa Arab (طريقة) yang berarti jalan.[2] Sedangkan
menurut istilah, tarekat yaitu: jalan, atau metode yang ditempuh dalam
melakukan ibadah, zikir dan doa yang diajarkan oleh seorang guru kepada
muridnya.[3]
Tarekat Naqsyabandiyah
merupakan tarekat yang lahir dan berkembang pada abad ke 8 Hijriah, yang
dinisbahkan kepada nama Syekh Bahauddin Naqsyabandiyah,[4]
yang nama lengkapnya adalah al-Syekh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Syekh
Naqsyabandiyah (717 H/1318 M-791 H/1389 M).[5]
Beliau lahir di Desa Hinduan (kemudian berobah nama dengan Qash Arifan), empat
mil dari Bukhara ,
Sovyet atau Rusia sekarang.[6]
Ketika beliau masih berumur belasan
tahun, belajar kepada Muhammad Baba al-Sammasi dan kemudian melanjutkan
pendidikannya pada Amir Kulal. Pada usia delapan belas tahun beliau pergi ke
Sammas, yaitu sebuah tempat yang jaraknya tiga mil dari Bukhara untuk melanjutkan pelajarannya. Di
tempat ini beliau mempelajari ilmu tasawuf pada seorang guru yang terkenal pada
waktu itu al-Dikkirani, selama satu tahun. Selanjutnya beliau bekerja pada
Sultan Khalid yang menurut riwayat sangat terkenal pada masa pemerintahanya dan
termasyhur disebabakan oleh Bahauddin Naqsyabandi.[7]
Ketika sultan mangkat, maka Naqsyabandi pulang ke desanya dan di sana
beliau menjalankan hidup sufi dan zuhud dengan memperoleh pengikut yang banyak. Di sana pula beliau
meninggal dunia, pada tahun 791 H / 1389 M, dalam usia 72 tahun akibat tertular
penyakit ta’un.[8] Naqsyabandi
menulis banyak kitab-kitab dalam ilmu Balaghah, Usul Fiqh, dan Teologi.
Kitab-kitabnya ini kemudian dikumpulkan
oleh seorang pengikutnya, As’ad dalam satu buku kumpulan yang berjudul Baghiyah
al-Wajid fi Kilaabatin Maulana Qalidin.[9]
Berkat dari kedua guru
utamanya, Baba al-Sammasi dan Amir Kulal, membuat beliau mendapat mandat estafet
sebagai pewaris tarekat ini. Tarekat Naqsyabandiyah mula-mula populer di Asia
Tengah dan telah banyak menarik minat orang dari bebagai lapisan masyarakat.
Walaupun beliau mempunyai jalinan dan hubungan dengan kalangan penguasa dan
bangsawan, namun beliau membatasi diri dalam pergaulannya dengan mereka, dalam
kondisi demikian beliau tetap dihormati oleh para penguasa.[10]
Dalam perjalanan sufinya, Syekh Bahauddin
mengatakan bahwa beliau berpegang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan
sahabatnya. Salah satu ungkapan beliau mengatakan bahwa sangatlah mudah
mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme (tauhid), tetapi
sangat sulit mencapai makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara
pengetahuan dan pengalaman spiritual.[11]
[1]
Sehat Ihsan Shadiqin, Tasawuf Aceh…, h. 155.
[2]
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990),
h. 236.
[3]
Taufik Abdullah dkk. Ensiklopedi Tematis ..., h. 152.
[4]
Naqsyaband secara harfiah bermakna “pelukis, penyulam, penghias”. Jika nenek
monyang mereka adalah penyulam, nama itu mungkin mengacu pada profesi keluarga;
jika tidak, hal itu menunjukkan kualitas spritualnya untuk melukis nama Allah
di atas hati murid. Lihat Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia…, h. 88.
[5]
Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, cet. I, (Solo:
Wacana Ilmiah Press, 2006), h. 25.
[6] Misri
Muchsin, Kontroversi Darul
Arqam Sejarah, Tarekat dan Poligami,
(Banda Aceh: ar-Raniri Press, 2009), h. 43.
[7]
Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarrah…, h. 90.
[8] Misri
Muchsin, Kontroversi Darul
Arqam …, h. 45.
[9] Misri Muchsin, Kontroversi Darul Arqam ….
h. 46.
[10] Sri
Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarrah …, h. 91.
[11] Sri
Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarrah …, h. 89.
0 Response to "Tarekat Naqsyabandiah : Sejarah Perkembangan Tarekat (I)"
Post a Comment