Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy : Sosok al-Mujaddid dan Mursyid-II
Sepulang Syekh Muda Waly Al-Kahlidy ke Aceh. Beliau mendirikan sebuah dayah yang sekarang ini dikenal
dengan dayah (Pesantren Darussalam), beliau mengembangkan Tarekat
Naqsyabandiyah di pesantren tersebut. Adapun pelaksanaan tarekat tersebut dalam
bentuk: pertama disebut dengan suluk. Yang kedua disebut dengan tawajjuh.
Kegiatan amalan suluk dan tawajjuh masih berlangsung sampai sekarang ini. Pada
tahun 1961 tepatnya pada tanggal 20 Maret 1961 (11 Syawal 1318 H) Syekh Haji
Muhammad Waly Al-Khalidi meninggal dunia.[1]
Selain ahli dibidang ilmu Fiqh dan tauhid, beliau juga salah seorang ahli
tarekat dan menjadi Mursyid tarekat Naqsyabandiah satu-satunya di Aceh pada
awal penyebaran tarekat ini ke Aceh. Sebagai seorang ulama dan seorang sufi
yang telah berjasa mengembangkan amalan suluk melalui Tarekat Naqsyabandiyah
terutama di daerah Aceh, Syekh Muhammada Waly Al-Khalidy telah memperkaya
kepustakaan Tasawuf Indonesia dengan
karya tulisannya. Di antara karya tulisnya yang juga dipakai sebagai panduan
dalam mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah antara lain: Risalah adab Zikir Ism
dalam tarekat Naqsyabandiyah (dalam bahasa Melayu), Ubat Hate, Nadham
Munajat Yang Di Berkati Bagi Al-A’liyat Al-Naqsyabandiyah (teks amalan
dalam bahasa Arab disertai terjemahan bahasa Aceh), Al-Fatawa, di
dalamnya berisikan berbagai fatwa hukum-hukum islam. Tanwiru al-Anwar fi
Izhar Khalal ma-fi Kasyf al-Ansar (dalam bahasa Melayu) yang di dalamnya
berisikan tentang dokrin amalan sufi.[2]
Perjuangan panjang dalam perjalanan hidup Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy,
dengan kegigihan usaha beliau dalam menuntut ilmu serta mengembangkan ilmunya
kepada masyarakat sehingga Tarekat Naqsyabandiyah dan tradisi amalan suluk
sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat di Aceh dan kegiatan tersebut masih
terlihat sampai sekarang ini. Berkat perjuangan beliau Tarekat Naqsyabandiyah masih terkenal dan banyak
pengikutnya di Aceh, dan banyak murid-murid beliau yang menyebarkan ajaran
tarekat ini, bertebaran di Aceh bahkan Nusantara serta luar negeri.
Dalam
amalan suluk ada istilah Mursyid, Wakil Mursyid, Munaffis
dan Khalifah , perbedaan ketiganya adalah; Mursyid yaitu orang
yang memberi ijazah tarekat, melantik Wakil Mursyid, Munaffis
dan Khalifah sebagai pembantunya dalam memberi ijazah tarekat kepada
orang lain, Wakil Mursyid adalah orang yang cuman boleh
mengijazah tarekat kepada orang lain dan melantik khalifah, sedangkan Munaffis
adalah orang yang cuman bisa mengijazah tarekat dan memimpin praktek amalan suluk
di tempat ia tinggal, dan Khalifah adalah orang yang cuman bisa meminpin
tawajjuh dan mengajarkan cara beramal amalan suluk.
Walaupun Abuya Muda Waly telah tiada, namun usaha
pengembangan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh di lanjutkan oleh anak-anaknya
antara lain: Abuya Muhibbudin Waly,
Abuya Jamaluddin Waly, Abuya Nasir Waly
dan Abu Ruslan Waly. Abuya Muhibbudin Waly Merupakan anak tertua dari Syekh
Muda Waly, ia mendapat pendidikan agama langsung dari bapaknya sampai mendapat
ijazah mursyid Tarekat Naqsyabandiyah
al-Waliyah. Sebagai pewaris tradisi pendidikan agama yang ditinggalkan
oleh sang ayah, Abuya Muhibbudin Waly mengembangkannya di berbagai dayah di
Aceh dan Malaysia. dan sekarang yang menjadi mursyid tertinggi Tarekat
Naqsyabandiyah di Aceh adalah beliau.[3]
0 Response to "Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy : Sosok al-Mujaddid dan Mursyid-II"
Post a Comment