Hukum Berqurban, Wajibkah?
Problema hukum berqurban telah terjadi khilaf
pendapat ulama. Sebagian ulama
menyebutkan wajib hukumnya berqurban untuk setiap muslim yang muqim
dalam setiap tahun berulang kewajibannya. (Kitab Mughni Al-Muhtaj Jld 4,
hal. 282, kitab Bidayatul Mujtahid 1:
415, Al-Qawanin Al-Firhiyah hal. 186, Kitab Al-Muhadzdzab 1: 237). Ulama yang
menyebutkan wajib berqurban dipelopori oleh
mazhab Abu Hanifah. Selain itu juga ada Rabi'ah, Abu Al-Laits bin Saad, Imam
Al-Auza'I, Imam At-Tsauri dan salah satu qaul dari mazhab Maliki. Mereka berpijak
dengan firman Allah Subhanahu Waa Ta’ala: “Maka laksanakanlah sembahyang
sebab Tuhanmu dan lakukanlah berkorban. (QS. Al-Kautsar: 2). Dalam Ayat
tersebut ada ungkapan perintah untuk melakukan berkurban. Kajian ilmu ushul
fiqh untuk amar mutlak itu diperuntukan wajib. Makanya menurut mazhab ini wajib
hukumnya berqurban. (Kitab Al-Lubab: 3: 232 )
Sedangkan
Jumhur ulama yang terdiri dari Imam Maliki, Hambali dan Imam Syafi’imereka menyebutkan bahwa sunat muakkad berqurban seperti yang
diutarakan oleh Syekh An-Nawawi mnegenai perbedaan pendapat mengenai hukum
Qurban. Pendapat ini yang dikemukakan oleh mayoritas ulama mazhab serta
disokong oleh Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar. (kitab Al-Majmuk Jilid
VIII,hal. 385). Permasalahna ini Hal ini berdasarkan hadist: “Apabila telah
memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka
janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kuku-kukunya.”. (HR. Muslim
dan lainnya). Ketegasan kesunahan berkurban disebutkan bahwa ibadah qurban itu
wajib terhadap Rasulullah SAW sedangkan untuk umat beliau hukumya sunat,
pernyataan ini diutarakan dalam hadist: "terdapat tiga perkara wajib
untuk saya dan sunatuntukkamu; berqurban, shalat witir dan dua rakaat
sembahyang dhuha ". (HR Imam Ahmad dan Imam Boihaqi). Argumen ini sendiri didukung juga oleh ungkapan Imam
Syafi’i sendiri yang di sebutkan dalam kitab Mukhtashar al-Muzani, bahw
Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar pernah tidak melakukan penyembelian qurban karena
khawatir akan di anggap sebuah kewajiban.(Kitab Mukhtashar Al-Muzani, Jld VIII,
hal. 289) (Mukhtashar al-Muzani 8/283)
Dalam mazhab Imam Syafi’I sendiri yang merupakan mazhab mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia, kesunnahan dalam berkurban adalah sunnat kifayah seandainya dalam keluarga tersebut satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah thalab (tuntutan) yang lain, bukan hasil pahala kepada selain pelakunya, namun jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnat ‘ain. Sunat berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.(Imam Ramli, Kitab Nihayah Al-Muhtaj, Jld VIII, hal.131). Syekh Ibnu hajar begitu juga denga Syekh khatib syarbini mengungkapkan dengan maksud yang sama dalam kitabnya:”berkurban hukumnya sunat muakkad dan bersifat kifayah, seandainya dalam sebuah keluarga banyak anggotanya dan menunaikan kurban salah oleh seorang saja maka sudah mencukupi untuk semua, jikatidak maka menjadi sunat ain (Syekh Muhammad al-Khathib Syarbini, kitab al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi -Syuja’: 2: 588, Syekh Ibnu Hajar, kitab Tuhfah al-Muhtaj: 9: 400)
Sunat 'ain maksudnya ibadah ini bukanlah wajib hukumnya, tetapi sunat, namun berlaku untuk orang per orang bukan untuk sunat untuk bersama-sama. Minimal setiap orang muslim disunatkan untuk menyembelih qurban sekali seumur hidupnya. Perbandingannya seperti ibadah haji, dimana minimal sekali seumur hidup wajib mengerjakan haji. Sedangkan pemahaman tentang sunat kifayah adalah disunnahkan bagi sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak, setidaknya dalam satu rumah, untuk menyembelih seekor hewan udhiyah, berupa kambing. Hal ini berdasarkan hadits : “Kami berwukuf dengan baginda Rasulullah SAW, saya mendengar beliau bersabda: ´wahai insan, hendaklah setiap keluarga menyembelih qurban tiap tahun.(HR. Ahmad, Imam Turmuzi dan Ibnu Majah)
0 Response to "Hukum Berqurban, Wajibkah?"
Post a Comment