Memaknai Esensi Mudik Spiritual (III)
Memaknai Esensi Mudik Spiritual (III)
Manusia dituntut untuk dapat mengubah kehidupannya ke arah yang lebih baik. Mereka orang yang malas beribadah berusaha dengan segenap kemampuan untuk menjalankan dan meningkat kualitas dan kuantitas ibadahnya, mereka yang berprediket jahil dengan belajar menjadi berilmu, seorang dari bermaksiat berusaha menjadi taat dan berbagai perubahan lainnya. Merekalah merupakan ciri-ciri orang bermujahdah di jalan yang diridhai Allah Swt. Seorang pemudik memerlukan pengawasan terhadap bekal yang akan di bawa pulang ke kampung halaman. Sang pemudik akhirat dalam pengawasan bekalnya harus merasa selalu di intai oleh Allah. Sikap seperti ini dikenal dengan muraqabah. Dimana saja kita berada baik sendirian atau tempat keramaian harus merasa seolah ada semacam cctv (kamera) yang selalu mengintai sehingga berbagai kemaksiatan akan dapat dikurangi bahkan dihilangkan sebab kita merasa malu Allah memandang dan melihat kita bermaksiat. Dalam hal ini Allah berfirman:” Sesungguhnya Tuhan kamu sungguh-sungguh mengawasi”. (QS. A-Fajar:14). Dijelaskan pula dalam ayat lain, berbunyi: “Sesunnguhnya Dia mengetahui yang terang dan tersembunyi”.(QS. Al-‘Ala:[87]:7)
Seseorang yang selalu bermuraqabah akan melahirkan sikap
ihsan. Ihsan itu seperti yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Saw ketika
ditanyakan oleh malaikat Jibril, beliau berkata: “Engkau menyembah Allah seolah-olah
kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihat kamu.”(HR. Imam Muslim). Permata yang bernama Ihsan merupakan
puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah Swt
dimuka bumi ini. Ihsan itu menjadikan kita sosok yang memperoleh kemuliaan
dari-Nya. Begitu juga sebaliknya, seorang insan yang tidak mampu mencapai target
ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mulia dan tinggi harganya untuk
memperoleh posisi terhormat di mata Allah SWT.
Pemudik yang perjalanannya sangat jauh tentu saja
perbekalannya yang telah disimpan dengan baik pasti kualitas bekal itu akan
berbeda apabila tanpa adanya serpihan dan tempelan dengan berbagai ramuan yang
tidak menghilangan subtansi bekal dan oleh-oleh itu sendiri. Sang pemudik akhiratpun juga harus memberikan
sangsi dan tempelan terhadap ibadah yang banyak lalai atau kurang maksimal
dengan memperbanyak bersedekah dan lainnya. Prilaku semacam ini dikenal dengan mu’aqabah. Realisasi
Mu’aqabah juga dapat dilakukan dengan bersegera bertaubat. Kita harus
belajar memberikan sanksi dikala lalai walaupun itu perkerjaan tidak mudah
disamping membutuhkan self-awareness (kesadaran diri) dan keimanan yang
tinggi. Sebagaiman diabadikan sebuah kisah seorang nabi dalam Al-Quran yang
bernama Sulaiman Alaihissalam, berbunyi: “ingatlah pada suatuwaktu
diperlhatkan kepadanya kuda-kuda yang tenang dikala berhenti dan cepat berlari
di waktu sore,makadia berkata:”sesungguhnya saya menyukai kesenagan terhadap
benda yang bagus (kuda) sehingga saya lalai mengingat Tuhan aku sampai kuda itu
hiang dari pandangan”,”bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”, kemudian dia
potong kaki dan leher kuda tersebut”.(QS.Shad: [38]: 31-32). Diantara kasus
lain yang dapat dijadikan sebagai suri tauladan dalam hal menghukum diri
(‘iqab) terhadap sebuah kelalaian dan kekhilafan sebagaimana di praktekkan oleh
salah seorang khulafauurasyidin bernama Saidina Umar bin Khattab.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Umar bin Khaththab pergi kebunnya. Namun
apa yang terjadi, ketika beliau telah pulang ternyata jamaah sudah selesai
melaksanakan shalat Ashar. Lantas beliaupun berkata: “Saya pergi hanya untuk
sebuah ladang, kemudian sayapulang mereka telah mengerjakan sembahyang Ashar, sekarang
lading saya, aku jadikan sebagai sedekah untuk orang-orang miskin” Selanjutnya
bagaimanakah dengan akhlak dan prilaku kita?.
Hendaknya dari tradisi mudik setiap tahun, tentunya kita
harus banyak belajar untuk mempersiapkan perjalanan mudik bukan hanya untuk
keluarga dan sanak keluarga di dunia ini. Namun juga harus mampu ber’ibrah
(mengambil pelajaran) untuk dapat mempersiapkan diri sejak dini sebaik mungkin
menuju mudik ke kampung halaman yang lebih esensial dan hakiki ke akhirat nanti
kelak. Semoga…!!!
Wallahu
Muwaffiq Ila ’Aqwamit Thariq
Wallau
‘allambishawab
Bila sahabat ingin menshare kembali artikel ini, jangan lupa disertakan link nya ya.. Terimakasih
Bila sahabat ingin menshare kembali artikel ini, jangan lupa disertakan link nya ya.. Terimakasih
0 Response to "Memaknai Esensi Mudik Spiritual (III)"
Post a Comment