Memaknai Esensi Mudik Spiritual (II)
Memaknai
Esensi Mudik Spiritual (II)
Seorang calon pemudik tentu saja telah menyiapkan
berbagai macam keperluan dan kebutuhan yang secukupnya. Kehidupan manusia di
muka bumi ini sebagai khalifahal-ardhi (pemimpindimuka bumi) merupakan
sebuah perantauan (musafir). Dalam al-quran disebutkan: “ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(QS.Al-baqarah;[2]:30). Musafir dalam bingkai mudik tentunya tidak lepas
dari kendaraan, apalagi sebuah perjalanan jauh antar benua sekalipun jelas membutuhkan
kendaraan yang layak dan mendukung walaupun bukan milik pribadi. Begitupun
dengan kehidupan di dunia untuk mudik ke akhirat. Kita membutuhkan sebuah
kendaraan yang bagus dan mendukung perjalanan kita menuju kampung akhirat
nanti. Tiada lain kendaraan itu adalah diri kita sendiri.
Sebagaimana
kendaraan mudik pada umumnya, kita harus senatiasa merawat diri kita dengan
memberikan service terbaik. Diantara service itu lewat intropeksi diri
atau yang lebih dikenal dengan nama muhasabah.
Muhasabah ini kalau perlu setiap ada
waktu dicoba untuk terus berkaca diri. Saidina Umar bin Khaththab dalam
bermuhasabah telah memperingatkan kita dengan perkataanya,: “Hisablah dirimu
sebelum dihisab, timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sesungguhnya
berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab di
kemudian hari” (HR. Iman Ahmad dan Tirmidzi secara mauquq dari Umar bin
Khaththab). Pernyataan senada juga datang dari salah seorang tokoh sufi yang
masyhur yakni Hasan Al-Bashri pernah mengungkapkan, :“Seorang mukmin itu
pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya karena Allah. Karena
sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah
menghisab dirinya di dunia..”.
Prosesi muhasabah akan lebih sempurna dengan
kombinasi mu’ahadah (mengingat selalu perjanjian kita di alam arwah
dengan sang khalik Allah Swt). Perjanjian ini di awal penciptaaan menurut para
ulama sebagai syahadat yang pertama. Kejadian ini di abadikan dalam Al-Quran
berbunyi: “Dan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab. “Betul (Engkau Tuhan
kami) kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikianitu agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al A’raf:[7] : 172). Perjanjian
tersebut apakah kita mengingkari atau tidak hanyalah pribadi masing-masing yang
lebih mengetahui. Diantara perjanjian lain yang sering kita ikrarkan sehari
semalam lima waktu dalam sembahyang berbunyi: “hanya kepada Engkau kami
menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon dan meminta pertolongan.”(QS.
Al-fatihah:[1]:5). Sebuah pertanyaan layak kita tanyakan serta dijawab sendiri
adalah pada sudahkah kita mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada Allah
Swt?
Masa hidup ini merupakan tempat bercocok tanam dan
beramal. Benih dan tanaman yang kita semai plus perawatan yang baik akan
menghasilkan panen yang baik pula di dunia untuk dibawa pulang waktu mudik
nantinya. Dunia sebagai ladang untuk bercocok tanaman di akhirat. Sebagaiman
disebutkan dalam sebuah hadist walaupun status hadistnya masih diperdebatkan
antara maudhu’atau tidak berbunyi ,”Dunia merupakan ladang akhirat”.
Dalam Al-Quran sendiri diperingatkan
kita untuk tidak lalai dengan dunia dan perhiasannya. Dunia hanyalah sebuah
permainan sebagaiman diungkapkan dalam firman Allah Swt:”Ketahuilah,bahwasungguh perjalanan hidup
didunia ini merupakan sebuah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah diantara kamu sertaberbangga-banggaantentang banyaknya harta dan
anak, laksana hujan yang tanamannya mengagumkan para petan, kemudian tanaman
itu menadi kering dan kamulihat warnanya kuning kemudian menjadi binasa. Dan di
akhirat nanti ada azab yang pedih dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya.dan kehidupan ini tidak lain hanyalahkebagahagian yang menipu”(QS.Al-Hadid:20). Kehidupan dunia
dengan akhirat sangat akhirat jauh sekali perbandingannya sebagaiman diungkapkan
baginda nabi dalam sabda-Nya:” Dunia dibandingkanahirat, tidak lainlaksana
seoangyang memasukkan jarinya ke dalam lautan,setelah itu diangkat,kemudian
lihat apa yang menempel darinya?”.(HR.Muslim)
Kita harus mempersiapkan diri ini sebaik mungkin untuk
menghadapai perjalanan mudik menuju kampung akhirat nanti. Hal lain yang harus
disiapkan oleh calon pemudik adalah oleh-oleh atau bekal apa yang akan kita
berikan kepada keluarga dan sanak saudara di kampung halaman nanti. Begitu juga
mudik menuju kampung akhirat, tiada lain bekal ini adalah amalan-amalan kita di
dunia. Seluruh amalan kita inilah yang akan kita persembahkan kepada Allah Swt
yang menunggu kedatangan kita di sana. Bekal yang terbaik akan kita bawa adalah
taqwa sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran berbunyi ;”Berbekallah dan
sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepadu-Ku hai orang-orang
berakal”.(QS. al-Baqarah: [2]: 197). Memperoleh gelar muttaqien bukanlah
hal gampang tetapi dengan.bersungguh-sungguh dalam beribadah yang disebut
dengan mujahadah. Hikmah Allah mencipkan Jin dan Manusia hanyalah untuk
ber’ubudiyah kepada Allah Swt. Ini diabadikan dalam al-Quran berbunyi: “Dan
Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku”.
(QS. Adz Dzariyat, 51 : 56). Dalam interpretasi mujahadah menurut
pandangan Syekh Said Musfar Al-qahthani merupakan suatu curahan terhadap segala
usaha dan kemampuan dalam mewujudkan potensi diri seseorang untuk patuh dan
taat kepada Allah serta segala yang berfaidah terhadap dirinya baik sekarang
dan nantinya disamping mencegah diri dari yang membahayakannya. Allah tidak
mengabaikan sebuah harapan para orang yang bersungguh pada jalan Allah (mujahid)
seperti dinukilkan dalam untaian kalam ilahi, berbunyi: “dan orang-orang
yang melakukan jihad demi mencari keridhaan Kami, sungguh kami tunjukan untuk mereka
jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah sungguh beserta orang yang berbuat baik”.
(QS. Al-Ankabut;[29]:69).
Beranjak dari itu kita dituntut untuk terus berjuang
dalam keidupan,jihad tidak mesti dimaknai berjuang dimedan pertempuran dengan
mempergunakan berbagai macam persenjataan, tetapi esensi dari jihad itu sendiri
membuka cakrawala yang dipenuhi nur ilahi dengan menutut ilmu bukan hanya untuk
kelimuan dan keilmiahan tetapi yang menjadi tujuan utama untuk beramal dem
penuh keikhlasan demi menggapai mardhatillah….semoga!!! (bersambung)
Bila sahabat ingin menshare kembali artikel ini, jangan lupa disertakan link nya ya.. Terimakasih
0 Response to "Memaknai Esensi Mudik Spiritual (II)"
Post a Comment