Memaknai Esensi Mudik Spiritual (I)
Memaknai
Esensi Mudik Spiritual (I)
Salah satu fenomena yang menarik dan telah menjadi sebuah
budaya dan kultur bangsa Indonesia serta tidak dimiliki oleh negara lain di
kala lebaran tiba adalah mudik kekampung halaman. Banyak faktorseseorang mudik
kekampung halaman ditinjau dalam berbagai perspektif ilmu baik ekonomi, sosial
budaya dan lainnya. rutinitas mudik dijadikan untuk menziarahi orang tua dan
keluarga baik yang telah tiada maupun
masih diberi umur panjang oleh Allah Swt. ada juga untuk meluangkan waktu
berlibur panjang di tempat kelahiran untukmengurusi berbagai kepentingan sosial
ekonomi bahkan ada juga yang tervirusi oleh efek psikologi media yang mem-blow
up kondisi hari ‘aid (lebaran)sehingga ikut-ikutan mudik pula serta berbagai
faktor lainya. ,Mudik sebagai alah satu tradisi yang sangat mengakar dalam
masyarakat muslim Indonesia pada umumnya di kala menjelang Lebaran. Seakan-akan
lebaran hambar rasanya tanpa mudik. Secara etimologi kata 'mudik' itu
berakar dari kata 'udik'. Secara harfiah, udik itu berarti kampung atau desa.
Secara singkat dapat dimaknai bahwa mudik itu merupakan kembali kekampung
halaman. Dalam menginterpretasikan “kembali ke kampung halaman” banyak
faktor yang mempoloporinya lahirnya sebuah nilai untuk mudik seperti yangtelahdisebutkan
diatas. Disamping itu adanya kedekatan emosi dengan tanah dimana kita
dilahirkan sehingga timbullah sebuah terminasi untuk menjenguk tanah kelahiran
tersebut. Efektifitas dari itu timbullah budaya, relasi sosial, kultural dan
nilai emosional yang sangat kuat untuk mewujudkan mudik. Tanah kelahiran
merupakan sebagai wadah otentik dari mana kita berasal. Sementara kota itu
menjadi ruang abstrak terhadap seseorang. Dimanapun sosok individu itu bekerja
dan banting tulang serta mengadu nasib dalam berbagai strata masing-masing
dengan penuh perjuangan dan tanpa mengenal lelah dan pamrih.disamping itu
sedalam dan sejauh mana menyelam ke dunia modernisasi dan eraglobalisasi dengan
penuh kecanggihan teknologi namun hubbul wathan (cinta tanah kelahiran) merupakan
sebuah emosional kultutal yang menjadi harga mati sehingga melahirkan sosok
bernama mudik.
Tradisi mudik merupakan sebagai momentum untuk
memperkuat silaturahmi dan merekatkan ikatan sosial serta harus terus dijagadan
dipupuk bukan hanya dalam nuansa lebaran bahkan pasca lebaran. Selain
itu, mudik juga bisa menjadi sebuah momen unjuk keberhasilan dan kesuksesan
yang telah kita raih seseorang selama di perantauan kepada masyarakat tempat
dia berasal. Esensi mudik jangan hanya menjadi sebuah tradisi musiman dan tahunan
belaka, dengan tidak merealisasikan sebagai sebuah wadah dan momentum untuk
meleburkan dosa sosial dan spiritual yang telah dilakoni dalam kehidupan
sehari-hari. Realita dilapangan ada juga sebagaian “jamaah” mudik hanyasemata-mata telah terkooptasi oleh
nilai-nilai dialektika pragmatis-materialistis. Fenomena ini akan melahirkan
sebuah jurang dan kesejangan sosial dalam masyarakat. Terkadang prilaku
tersebut dikemas dengan bungkusan dan sloglan yang relegius dan sprituil dengan
percikan nilai-nilai transedentalnya. Dengan begitu mudik lebaran juga jadi semacam
suatu problema yang merupakan manifestasi problema sosial di masyarakat dan
akibatnya terjadi berbagai kesalahan yang terselubung. Terkadang esensi mudik
juga telah mengalami reposisi yang cukup memprihatinakn. Atmosfer semacam ini
disebabkan oleh ekses berbagai pengaruh
budaya global yang mengkungkung jiwa dan qalbu dunia Islam yang kosong dari
nilai-nilai spritual. Salah satu diantara reposisi tersebut, dimana tradisi mudik
telah menjadi ajang konsumtif yang melebur dalam perilaku dan tingkah laku
ummat Islam yang terbuai oleh budaya hedonis-konsumeris. ekses budaya
global semacam itu akan menghilangkan esensi mudik yang sesungguhnya yakni
memperkuat ikatan emosional yang telah lama hilang karena perubahan pola
pikir dan gaya hidup yang serba mewah.
Reposisi makna mudik tidak hanya terjadi dalam bingkai
perilaku dan gaya hidup yang serba menonjolkan kemewahan dan kekayaan yang di
peroleh selama dalam masa perantauan, tetapi juga berdampak pada terkikisnya
nilai spiritualitas dan tasawuf sosial. Itulah sebabnya, mudik lebaran
janganlah dimaknai secara sempit tanpa memahami makna substansial dari hikmah
bermudik ke kampung halaman tercinta. Banyak pesan moral yang dapat dipetik
dari mudik itu sendiri, bukan hanya saja mudik direalisasikan dalam bentuk
fisik dan materi, namun harus lebihdari itu. Esensi yang terpenting dari mudik
harus dapat diimplementasikan dalam nilai ibadah baik vertical maupun
horizontal…bersambung!!!
Bila sahabat ingin menshare kembali artikel ini, jangan lupa disertakan link nya ya.. Terimakasih
0 Response to "Memaknai Esensi Mudik Spiritual (I)"
Post a Comment